Senin, 30 September 2013

CINTA, DIA MENGAMBILNYA


(Cerpen)

Sebenarnya berapa lama lagi Tuhan kau ambil dia, Leukimia tahap akut, tersisa enam bulan dari hari itu.

"Ada bercak darah sayang." kataku sambil membereskan sprei ditangan. Kutunjukkan kepadamu. Jelas ini bukan darah perawan, bercak kental kehitaman. Dan aku melihatmu tersenyum cemas atau menutupi gusar.


Dua pekan lewat, ketika kita berdua berpegangan tangan erat, melewati zebra cross. Saat lampu merah menyala dan aku tiba-tiba berteriak lantang. "Tolongg, tolong dia...Stoppp!!!". Histeris ketika kamu tiba-tiba limbung dengan mata terpejam, wajah pucat.
"Tuhan jangan ambil dia, yaa.." pinta.

Ini Tahun baru yang ke 5 setelah pernikahan kita, tak ada pesta, tak perlu lampu kerlap kerlip, tak juga kembang api. Kita hanya memandang dua lilin di meja, dengan lampu temaram. Cundlelight dinner.
"Ingat lagu ini...
Indah, terasa indah
Saat kita terbuai dalam alunan cinta
Sedapat mungkin terciptakan rasa
Keinginan saling memiliki...

Aku tak meneruskan. Melihat matamu sayu, bibir sedikit membiru meski tak bias cahaya lampu. Ternyata hangat mantel tebal itu tak bisa mengurangi dingin tubuhmu, Angin merangsek kejam kepori-porimu.

"Cium aku sayang.." Pintaku mendekatkan wajahku. Dan kau memejamkan mata, mengecup bibirku lembut.
"Jangan ambil sekarang ya, Tuhan." bisikku. Aku tak butuh kembang api atau terompet tahun baru, aku hanya butuh jawaban yang setiap waktu kupertanyakan.

"Sepertinya kita harus merenovasi kamar kita sayang." ucapku sesaat melihatmu dikursi roda menyelesaikan membaca buku-bukumu. Mengganti cat dinding, menjadi wallpaper dinding dengan corak garis-garis hijau. Segar. Menyusun rapi buku-buku favoritemu. Membuka jendela membiarkan udara membelaimu.
Menyisakan satu ranjang, meja kecil, lap top, foto pengantin kita yang tersenyum setiap hari, dan rak kecil untuk menyimpan miniatur popeyemu. Aku tersenyum melihatnya.

"Tarraa...lihat aku menyulap kamar kita, seger kan" kataku sambil merentangan kedua tanganku.

"Hehe...iya, kayak es cendol , Ma.." timpalmu. Kau masih bisa berceloteh segar. Padahal dua malaikat gembira mencatat tanda-tanda menutupnya usia. Kupeluk dirimu, "Jangan ambil dia sekarang, Tuhan.." pintaku hampir berbisik.

Aku tak bisa menyembunyikan kepanikanku. Tuhan!! Apa dosa kami. Betapa semua titah-Mu telah kuagungkan. Aku tak pernah lupa untuk tunduk kepada-Mu, mengagungkan kalimat-kalimat surga-Mu. Kasihani kami Tuhan, kasihani dia..Tuhan, tolong..tolongg...!
Melihatmu berdiri, terhuyung, tangan bergetar di sisi pintu kamar mandi. Seperti zombie. Darah kental keluar dari hidungmu, mengacak ke dagu, baju. "Jangan sekarang ya, Tuhan..aku mohon".

Bercak merah sebesar biji salak, di belakang bahumu, ketika aku mengganti bajumu. Aku pura-pura tak melihatnya, tanda-tanda itu semakin jelas, dan aku menepiskannya. Sayang, semoga kau tak tahu. Meski mungkin kau merasakannya.
"Kita kemo ya..." pintaku, dan kau menggeleng. Kemo itu membuat dia ketakutan, sudah dilakukan tiga kali selama penyakit sialan itu memilih ragamu untuk menjadi istananya.

Siang itu, langit tak begitu terik, awan seolah memayungimu. Aku hanya memperhatikanmu dari bawah dan dirimu di balkon rumah. Serius. begitulah ekspresi ketika dirimu sudah mengencani kertas dan pena. Puisi, kau membuat puisi dan melipatnya.
Kau suka sekali puisi. Dasar kamu, masih saja manis, mencoba romantis. Andai kau juga menulisnya untuk Tuhan, sayang. Andai Tuhan menyukai puisi..

Ini surga. Malam ini aku berada di surga. "Berapa bulan kita tak bercinta sayang?" tanyaku. Kurebahkan kepalaku ke dadamu yang tak sebidang dulu. Rongga-rongga igamu terlihat jelas. Ternyata di pintu mautpun aku masih mendapatkan surga. "Ah, kau masih perkasa."
"Sayang ada bintik merah ya?" tanyamu, aku tau kau pasti merasakannya ya, atau kamu menghitung setiap tanda-tanda. Aku melihatnya, setelah kita bercinta tadi dan kita terlalu bahagia sampai sama-sama larut tak mengulasnya.

"Ini kemo ke berapa sayang? temani aku ya?" pintamu
"Iya sayang," jawabku sambil tersenyum. Memakaikanmu syal dan kupluk rajutan tanganku.
Dan kau tersenyum . Hebat kau masih bisa tersenyum sayang, batinku.

"Ma, aku pingin tidur. Peluk aku ya..?" pintamu
Betapa lunglai tubuhmu. Kurus. Tulang pipimu keras. Wajahmu memucat. Selang infus itu menyumbat hidungmu yang terlihat semakin mancung.
Aroma ruang ini membuatku ingin tercekik. Sepertinya aku berada alam yang tak pernah ada penghuninya. Hanya detik dari alat Electrocardiography
tik..tik..tik...tik...
Aku pingin mati, menghujam tubuhku dengan tiang infus yang ada di sampingmu.
"Tidurlah sayang, tidur" paling tidak aku masih mendengar desah nafasmu.

"Ma, mama.." panggilmu. Kalau bisa aku ingin sehari ini berdua dengan mama. Kita pulang ya.." rajukmu.
"Aku pingin moccachino, roti tawar dengan selai kacang." pintamu lagi
"Iya sayang." jawabku.
Secangkir moccachino, roti tawar dan selai kacang, Coffelate kesukaanku sudah siap.

"Sepertinya malam ini aku ingin mengulang masa malam pertama kita. Berbincang, menikmati malam dengan saling melontarkan puisi bersahutan. Usai itu kita bercinta." katamu sambil mengerlingkan matamu yang semakin cekung. Terlihat sekali lingkaran hitam dimatamu.

"Ayah!" kucubit lenganmu yang semakin tipis. Dan kau terkekeh-kekeh dengan pundak terguncang-guncang.

"Udah ah..udah jangan diteruskan" sergahku. Kau terdiam, sejenak sambil mengelao bibirmu yang meninggalkan sisa selai kacang.

"Kalau begitu rayu aku, Mama?"

"Idih, genit" Aku cemberut

"Bukannya Mama itu jago banget saat merayu"

"Ehem...hem..." dehemku menggoda, "Bapak ini ganteng deh..coba lihat telapak tangannya. Kataku sambil mengamati telapak tangannya. Lihat garis ini, garis cinta. Tau gak siapa yang paling mencintai Bapak?" tanyaku mencoba serius.
Dan kau menggeleng.
"Aku!" jawabku sambil menunjuk ke hidungku. Dan kau terkekeh lagi. "Udah sayang...udah!"

"Aku mencintaimu, perempuanku". katamu, memapah tanganku, menyandarkan kepalaku kedadamu. Tak sebidang kemarin. Tulang igamu sedikit menyakiti pipiku, meski syal itu menggulat leher dan dadamu. Rasanya baru kemarin kau perkasa, membuatku melayang di surga.

"Dan aku mencintaimu begitu luar biasa, lelakiku" jawabku

"Berpuisilah untukku, Mama..!" pintamu lagi

Aku masih dipelukanmu. "Aku mencintaimu, suamiku. Aku mencintaimu, sayang. Aku sungguh mencintaimu. Sangat mencintaimu. Aku begitu mencintaimu..." kalimatku terhenti..Tiba-tiba pelukan tanganmu terjatuh. Aku diam memejam. Detak jantungmu tak kudengar lagi. Kupejamkan mataku erat. Kugigit bibirku keras sampai aku tak merasakan rasa sakit.

"Tuhan..please jangan sekarang, jangan...ya..? ku mohon jangan sekarang Tuhan. Jangan ambil sekarang. Dia masih belum memenuhi janjinya untukku, kita belum bahagia Tuhan. Jangan, ..jangan sekarang.Tuhan..."
Rasanya telah habis rintihku, air mataku terburai tak terbendung lagi. Wajahku masih enggan menjauh dari dadamu. Mungkin masih ada sisa detak untukku. Tuhan..Kumohon...jangan sekarang..Tuhannnn...Please...

***

Ketika langit tak berujung
Aku berada di tepian hijau
Bersama angin, dalam pelukan udara
Ada perempuan abadi disana
Dan dia abadi
Aku punya cinta seteguh matahari
Dan jika nanti langit membawaku pergi
Biarkan kutitipkan cinta di lesung bibirnya yang merah

Puisi ini untuknya Tuhan. Agar dia tahu..betapa aku menyanjungnya, Cinta.

Tertanda untukmu
Perempuanku



Itu puisi terakhirmu untukku. Aku menemukan puisi itu yang disembunyikan di balik bantal kursi roda.

PEREMPUAN BERMAHKOTA AWAN

Tak ada pelangi, hujan pun tak mampu menggerimisi
Langit tampak suram, sesuram kenangan yang pernah dipeluknya
Lelaki itu membawa kepercayaanku untuk diletakkan diujung karang
Biarkan saja gelombang pasang menenggelamkan
Biarkan asin air laut mengkristalkan

Aku membawa kepercayaan perempuan bermahkota awan
Penggiring kupu kupu untuk singgah dan terbang rendah di gemulai kembang
Dia menyihirku,
Menjadikanku candu atas tiap kerling matamu

Pertanyaanku,
Adakah aku salah memegangnya
Serupa gerimis bening matanya
Deras mendentum jantung lelaki sepertiku
Adakah salah dia keajaibanku?

Jawab aku...

Jumat, 27 September 2013

RINDU

"Hujan...kapan kamu datang!!"

DIRINYA

"Apa yang kau rasakan ketika dalam pelukannya?"

Aku hanya punya kekuatan yang lemah
Aku juga punya ketajaman yang rapuh, rapuh  membaca isyarat
Tapi aku menemukan hati yang kuinginkan
tanpa harus tenggelam bersama gugurnya sesal yang mengikat erat

"Tapi aku takut tak bisa membahagiakanmu?"

Bahagia akan datang menguji kita ketika cinta hinggap
Dan kau tak perlu mengatakan ketakutan itu

Jadilah kau seperti langit dengan gelapnya
ketika rintik hujan membawa gemuruh halilintar
tapi menyiapkan pelangi di usai biasnya

Sesungguhnya cinta adalah sebuah kejujuran yang hakiki
dan kita tak bisa berdusta untuk itu
karena cinta telah diciptakan Tuhan untuk kita

TENTANG AKU SEBELUM DIA

Perempuan itu mengeluarkan cigarete mint, mematik api dari zippo di sebelahku.
Dia menghisap dan menghembuskan asapnya, menciptakan bulatan-bulatan kecil yang semakin pudar dari bibir merahnya

Aku hanya bisa menatapnya, mencoba membaca dari gerak mata dan kaki jigangnya. Cemas.
Pandangannya dibuang diluar jendela, hiruk pikuk kota yang tak pernah tidur.

Aku menemani Amira. Perempuan cantik disampingku. Sang mantan terindah yang kutemukan lima bulan yang lalu.
Ya. Pertemuan tak direncana, tanpa undangan. Melalui jejaring sosial. Ya benar, Facebook
Sudah beberapa tahun yang lalu, setelah lulus kuliah kami berpisah. tepatnya tak ada perjanjian perpisahan.
Yang jelas, kita berdua sama-sama kehilangan komunikasi.
Perjumpaan kali ini, seperti membuka kembali ruang yang pernah terisi. Perjumpaan indah tapi juga beban yang begitu berat.
Setelah aku memiliki dia, menjadi Hermawan suami Irarini, wanita yang menemaniku saat ini. Wanita itu memang bukan kekasihku, tapi aku memilihnya karena dia pilihan ibuku.

"Bagaimana tentang aku?" tanya mu.

Beberapa menit kemudian kita diam, masing-masing tak bisa menyembunyikan kegaduhan jantung.
Amira perempuan yang begitu aku cintai dulu.

"Rasanya pantaskah aku menyesal membuat akun itu?" kataku
"Bagaimana dengan aku" tanyamu kembali

Tak lebih kita itu seperti sebuah kertas yang terbakar menjadi abu, dan tak mungkin kembali menjadi kertas putih yang bisa tertulis kembali
Kenapa kita begitu picik, dan aku juga seperti seorang lelaki pesakitan
yang begitu pintar menyembunyikan rahasia, sampai dia tak mengetahuinya.
Atau aku begitu licik, bisa memutar balikkan alasan yang kerap aku paparkan

"Kau priaku..." katamu seraya menangsek pandangan kearahku
"Kau mencintainya?" tanyamu kembali,

Cinta,... ketika kepahitan dan kesendirian itu menghampiriku
aku tak ubahnya menjadi lilin padam tersudut diruangan.
aku tak ubahnya merpati kecil yang tak bersayap
"salah ketika aku butuh api untuk menjadi terang ruang kosong itu,
keliru ketika sang merpati itu mengharap tumbuhnya sayap baru?

Aku melihatnya memainkan bulatan-bulatan asap dari mulutnya, kadang dihisapnya dalam

"Kau masih suka menulis?" tanyaku.
Dijawabnya hanya dengan menggeleng sambil memainkan sebatang rokok di sela jemarinya. Begitu mahir jari-jarinya menari.

"Jadi tulisanmu berhenti pada satu puisi itu?" tanyaku lagi

Hilang
Sebelum senja ranum
Hujan tak kutemukan
Yang biasa manja
Pipi merona Jingga

Sirna
Dibalik awan
Atau bersembunyi di bongkahan batu besar
Atau mati di tindih mendung hitam

Hujan kali ini bukan bening
Tapi warna keruh airnya jatuh

Dan ku membiarkannya kuyup

"Cukup!!" jangan kau teruskan itu.

"Jadi itu tentang aku." jawabku menatapmu. Dan kaupun tersedu, dengan kedua bahu yang bergerak.

"Menangislah? jangan bendung air mata itu.." kataku. Dadaku ini cukup bidang untuk kau berandar. Kuras semua airmatamu dan aku akan diam memaknainya.

Benar saja, Amira menangis sejadi-jadinya, dia membiarkan kemeja basah. Aku merangkulnya. Ruang hotel ini sejuk tap aku tak bisa merasakannya,
Kurangkul tubuhnya, isaknya tak berhenti. Sampai kita berdua terbenam dalam sebuah romansa malam.

***

Pagi ini aroma rumah ku tercium, sebuah senyuman menyambutku tulus, dan aku menjawab dengan senyuman kembali. Dia meletakkan secangkir teh panas dimeja beranda.

Pagi ini aku melihat rona wajah Irarini, istriku biasa, tak ada sudut kecewa atau dia tak memahami rahasia yang kusembunyikan.

"Duduklah disini!" pintaku padanya

Bagaimana kalau kita pindah rumah, kebetulan ada yang menawari tugas kantor diluar pulau. Gimana? tanyaku hati-hati

"Aku ikut denganmu. Semoga ini menjadi awal yang indah." harapmu sambil tersenyum, menyeduhkan teh panas. "Minumlah."

Benar saja kutinggalkan kota ini. Bukankah kesalahan tak boleh terulang, dan aku menyiapkan untuk pantas dilihat Tuhan.

Aku mencintai aku miliki sekarang, hidup dan mencintai yang menjadi realita,
Meninggalkan kantor, meninggalkan Amira, mengganti nomor, menutup akun selamanya. Facebook

Sebelumnya kutinggalkan simple massage di inboxku. "Selamat Tinggal"

MAAF AKU TAK TEPAT WAKTU

Ini perasaan. Kamu, dia mungkin juga aku tak bisa memprediksi kapan dia hadir, dan kapan kita bisa mengucap selamat tinggal.

Jujur, mereka tak tau apa tentang perasaan, mereka tak memahami detak jantung yang teratur berdenyut, tentang irama yang menghentak-hentak nadi.

Kusilangkan dua jemariku dibalik punggung,aku membiarkan kepalaku tertunduk. Entah dalam diam yang sesaat aku berimaji. Seperti di sebuah bioskop tunggal, tanpa siapa-siapa hanya aku dan kamu, sepasang hamba yang mengumbar senyum dan tatapan. Salah? ataukah dosa? tiba-tiba kalimat itu menyekat lamunanku dan kembali aku tertunduk mendengarkan nasehat panjang yang terurai dari mulut ibu.

Hampir benar semua, yang dikatakan ibu. Bagaimana mungkin seorang ibu mau membuat hidup anak-anaknya tidak bahagia. Entah kuasa dari semesta yang mana ketika seorang anak harus mengatakan "tidak" dan untuk itu aku tak berani mengatakannya. Seperti saat ini aku hanya tertunduk, dan menyilangkan beberapa kali telunjuk dan jari tengahku, "tidak bu, tidak.." kataku lirih hampir tak terdengar

Pada sebuah pagi, ketika mentari benar-benar belum membumbung tinggi, tiga ketukan lembut terdengar di balik jendela.

"Laras, laras..." panggilnya lirih. Lalu tubuhku melangkah, ku buka jendela. Kau tersenyum getir, wajahmu kau arahkan tepat menghadapku, tapi tak seperti itu denganku, wajahku kuarahkan ke rinai tanah, menutupi pertemuan pandangan saling tatap.

Sebenarnya aku memahami kedatanganmu subuh ini dan aku tak memperkirakan apa yang akan terjadi.
"Kau mengertikan kata-kata sederhana tentang cinta?" katamu membuka percakapan. Seperti kau pernah mengungkapkan dalam satu puisi buah tanganmu

mencintai dengan kalimat yang tulus
tak perlu ungkap dalam ruang rindu
biarkan cinta menjadi cinta
ketulusan tak merubah menjadi iba
meski persembahan bukan hidupku
memiliki hatimu adalah hal terindah
dalam rasaku...

dan biarkan kalimat terakhir itu tetap kuhafal, dan tetap menjadi amalanku. Kau ulurkan tanganmu melalui jeruji jendela kamarku. Kali ini kupaksakan memandang wajahnya. Satu wajah yang sudah delapan tahun menemani ku, seraut wajah yang dulu begitu bersemangat mengatakan, "Kita harus menjadi sepasang pengantin, Non!" katamu sedikit memaksa. Atau kalimat "Tenang, tunggu aku akan menjadi perwira tangguh, yang bisa kamu banggakan. Rasuna Ramadhan namaku dan Larasati namamu, pas kan.."

Itu impian kecil, sekecil bisikan, sekecil usia kita dulu. Sekecil tingkah lakumu, "Lihat, aku ukir namamu di kaki kananku!" katamu suatu ketika. "Hei bukan cuma di situ, lihat itu!! tunjukmu disebuah pohon mlinjo di belakang rumah. Dan kamu membawa impian itu dan berusaha mewujudkannya. Sesungguhnya aku begitu picik, tak memandang impianmu tak berfikir logika dimana ada hati yang begitu terlanjur jatuh kemudian pungkas menjadi harapan-harapan kandas.

Kau tak mengingat ketika kita berdua menyimak romansa Romeo-Juliet, bagaimana perjuangan sang lelaki untuk mendapatkan cinta wanitanya. Atau aku malah berfikir tentang sebuah realita, kadang apa yang kita impikan tak seindah harapan, benar aku kalah, tak setegar Juliet. Kuulangi lagi, aku tak memahami cinta seperti pehaman roman Juliet.

Hidup memang untuk sang pemberani, bukan pemasrah yang tak bisa berbuat apa-apa.

Kupandang sekali lagi kepergian lelaki di hadapanku. Dan aku tak bisa membendung tangis ketika dia bersungut-sungut sembunyi. Masih menghindar ketakutan, dan masih tetap menjadi kebiasaan yang tak pernah dilupakan, ketakutan untuk memperlihatkan kepada kedua orang tuaku. "Ini aku Rasuna yang begitu mencintaimu."

Kutarik nafas dalam-dalam. Aku punya Tuhan, mungkin untuk beberapa saat kemarin aku sedikit melupakan Dia. Tapi kini aku membutuhkan-Nya, memandang-Nya untuk bersandar di sisi-Nya. Maafkan aku Tuhan.

Tepat. Akan kupaksakan sejenak hati ini, apa yang pernah kutulis tentang pengabdian. Mungkin ini saatnya aku mewujudkan bahwa, ini pengabdianku ibu.

Dia pria biasa, tak berjas, atau berseragam. Mungkin dia punya keteguhan cinta yang sudah dia kemas rapi menjadi lelaki hebat yang berani.

"Mengapa kau mau menikah denganku?" tanyaku suatu hari. Atau kau begitu tergila-gila, atau mungkin tak ada lagi Tuhan menciptakan bidadari lain sesempurna aku. Cerca ku menyelidik, Aku begitu ketus.
Aku tau kurasa Tuhanpun tak mampu berbuat apa-apa ketika seorang hambanya sudah jatuh cinta. Mereka akan berubah berbalik menjadi kebiasaannya.
Mereka melupakan rasa intelektualnya yang begitu agung yang di ciptakanNya. Terbuai dengan nama Cinta.
Dan ini uraiannya
"Aku hanya melihat sepasang mata kerinduan yang biasa aku lihat ketika kaki-kakimu kau pijakkan melalui jalan setapak. Begitu tabahnya engkau, saat mereka masih berfikir hura-hura, tapi kau sudah berada di semua tempat kerja, mengupayakan peluhmu untuk satu abdimu.
Aku hanya melihat perempuan dengan senyum purnama ketika dihadapkan dengan berbagai macam duniawi.
Aku hanya melihat ada seorang perempuan berparas sederhana yang berada di satu tebing yang mungkin akan terjun kedalamnya. Aku hanya melihat itu." jelasnya.
Sekali lagi, aku tertunduk ketika aku tak mampu menjawabnya. Yach...seperti beginilah, aku dihadapkan pada dua pertanyaan, seperti ujian langit saat akan menurunkan hujan di musim kemarau.

Hari ini, episode hidup yang tak pernah terlupakan. Ketika kedua mataku menyaksikan inilah realita.

Aku berada dalam pelukan cinta, Rasuna. "Bawa aku Rasuna?" pintaku dengan mata berkaca. Aku adalah mawar merah yang menunggu layu, menunggu gugur satu persatu kelopaknya. Aku mawar merah berada di sebuah benggala yang setiap hari harus memaksakan menggugurkan kelopaknya untuk menerima keputusan. Apakah ini adil Rasuna?"

Kau membelai rambut panjangku yang tergerai. Membiarkan butir-butir air mataku menganak deras di dadamu. Dan satu katapun tak mampu keluar dari bibirmu. Aku tau betapa cinta telah menghukum kita. Ketidak berdayaan masing-masing tak mampu membawa kita kepada makna sesungguhnya.
Jawabmu, "Tunggu, aku harus meyakinkan kedua orang tuaku."
Begitulah, keduanya masih sama.
Kita, atau tidak lain masih tentang keluarga aku dan engkau, sama-sama menjaga jarak. Sama-sama keras untuk menjaga ego. Sampai mereka melupakan ada yang saling mengagumi. Mungkin inilah kisahnya, dan aku sendiri tak menyangsikan apa-apa.

Lupakan tentang pintaku satu hari itu Rasuna, kau tak bisa mengubah paradigma cinta, bahwa hamparan cinta itu seperti lautan, luas tak berbatas. Tak terdandingi.
Lupakan tentang aku yang berusahan mematikan ego keluargamu, "Bawa ibumu untuk aku.?".

Ini adalah susunan alinia terakhirku yang kugores dengan tinta patah-patah, tanpa kukurangi atau kububuhi.

Ibu tersenyum penuh kemenangan, dia telah menyiapkan sepasang cincin polos tanpa mata, tanpa hiasan apa-apa. Sederhana. Dan jemari kemenangan di tunjukkan pada sepasang jemari dengan senyum puas, memandangku.
Nyatanya, ibukulah pemenangnya.
Cermin tempat aku berkaca dan berdiri bergaya pecah.
"Mungkin aku cacat ibu, atau mungkin aku tak pantas untuk menyematkan cintaku sendiri. Nyatanya aku menerima tanpa ulasan yang bisa dicerna makna, karena memang aku tak pernah menemukannya.

Rasuna, kini aku hanya punya satu pinta saja. Doakan aku ya...

**
Ketika semua hal yang menjadi pembentuk nasibmu sudah diberikan kepadamu,
untuk kau pilih dan kau maksimalkan keindahannya bagi kebahagiaanmu.

Kamis, 26 September 2013

CINTAILAH KEKASIHKU

aku mulai ketakutan
menatap matahari
padahal savana di belantara sana adalah batasnya

remukkanlah
musnahkanlah segala yang terjadi tentang memoar

jadikan sangkar,
jadikan taman
dan jadikan aku butiran debu

aku mulai ketakutan
atas penyatuan jiwanya dan tubuh yang tak bertiada

ikatkanlah erat padanya,
dia yang menjadi sejuknya
ibaratkan kita adalah keutuhan
dan hakikatnya aku adalah penyerahan

cinta..
Cintailah kekasihku seperti ketiadaan sampai akhir yang dijanjikan

AKU AKAN MENJADI LILIN YANG MEMBAKAR HABIS DOAMU

Aku akan menjadi lilin kecil yang habis membakar doamu
Tak perlu dipertanyakan
Biarkan aku menjadi pengabdianmu...

DAN KUCERITAKAN PADANYA

Dan, kuceritakan padanya
Mimpi yang kuingat tentang semalam

Aku mendengarmu, diantara haru
Jiwa jiwa kasih merangkul sedih

Kemana aku?

Aku hanya bisa berlarian dari rumah menuju bukit kesedihan
Menetesi aliran sukma kewajahku
Sendu disela senyumku

Semalam aku bercerita tentang ruangan itu
Dimana ruang kosong itu tercukupi hati dan tawamu

Aku bahagia kau baik baik saja...

Cinta yang kau bilang sepi
Ddalah tidak, cinta telah menjadi darah
Cinta telah menggantikan sukmaku yang tak berada disana

Untuk malam dan satu nama

Tiang tiang sendiri
Lampu pijar sepi ditaman sunyi
Ada yang memahami, ketika cinta tak butuh sekedar cinta
Aku dan kertas puisi
Perempuan kini berparas sepi kembali