Perempuan itu mengeluarkan cigarete mint, mematik api dari zippo di sebelahku.
Dia menghisap dan menghembuskan asapnya, menciptakan bulatan-bulatan kecil yang semakin pudar dari bibir merahnya
Aku hanya bisa menatapnya, mencoba membaca dari gerak mata dan kaki jigangnya. Cemas.
Pandangannya dibuang diluar jendela, hiruk pikuk kota yang tak pernah tidur.
Aku menemani Amira. Perempuan cantik disampingku. Sang mantan terindah yang kutemukan lima bulan yang lalu.
Ya. Pertemuan tak direncana, tanpa undangan. Melalui jejaring sosial. Ya benar, Facebook
Sudah beberapa tahun yang lalu, setelah lulus kuliah kami berpisah. tepatnya tak ada perjanjian perpisahan.
Yang jelas, kita berdua sama-sama kehilangan komunikasi.
Perjumpaan kali ini, seperti membuka kembali ruang yang pernah terisi. Perjumpaan indah tapi juga beban yang begitu berat.
Setelah aku memiliki dia, menjadi Hermawan suami Irarini, wanita yang menemaniku saat ini. Wanita itu memang bukan kekasihku, tapi aku memilihnya karena dia pilihan ibuku.
"Bagaimana tentang aku?" tanya mu.
Beberapa menit kemudian kita diam, masing-masing tak bisa menyembunyikan kegaduhan jantung.
Amira perempuan yang begitu aku cintai dulu.
"Rasanya pantaskah aku menyesal membuat akun itu?" kataku
"Bagaimana dengan aku" tanyamu kembali
Tak lebih kita itu seperti sebuah kertas yang terbakar menjadi abu, dan tak mungkin kembali menjadi kertas putih yang bisa tertulis kembali
Kenapa kita begitu picik, dan aku juga seperti seorang lelaki pesakitan
yang begitu pintar menyembunyikan rahasia, sampai dia tak mengetahuinya.
Atau aku begitu licik, bisa memutar balikkan alasan yang kerap aku paparkan
"Kau priaku..." katamu seraya menangsek pandangan kearahku
"Kau mencintainya?" tanyamu kembali,
Cinta,... ketika kepahitan dan kesendirian itu menghampiriku
aku tak ubahnya menjadi lilin padam tersudut diruangan.
aku tak ubahnya merpati kecil yang tak bersayap
"salah ketika aku butuh api untuk menjadi terang ruang kosong itu,
keliru ketika sang merpati itu mengharap tumbuhnya sayap baru?
Aku melihatnya memainkan bulatan-bulatan asap dari mulutnya, kadang dihisapnya dalam
"Kau masih suka menulis?" tanyaku.
Dijawabnya hanya dengan menggeleng sambil memainkan sebatang rokok di sela jemarinya. Begitu mahir jari-jarinya menari.
"Jadi tulisanmu berhenti pada satu puisi itu?" tanyaku lagi
Hilang
Sebelum senja ranum
Hujan tak kutemukan
Yang biasa manja
Pipi merona Jingga
Sirna
Dibalik awan
Atau bersembunyi di bongkahan batu besar
Atau mati di tindih mendung hitam
Hujan kali ini bukan bening
Tapi warna keruh airnya jatuh
Dan ku membiarkannya kuyup
"Cukup!!" jangan kau teruskan itu.
"Jadi itu tentang aku." jawabku menatapmu. Dan kaupun tersedu, dengan kedua bahu yang bergerak.
"Menangislah? jangan bendung air mata itu.." kataku. Dadaku ini cukup bidang untuk kau berandar. Kuras semua airmatamu dan aku akan diam memaknainya.
Benar saja, Amira menangis sejadi-jadinya, dia membiarkan kemeja basah. Aku merangkulnya. Ruang hotel ini sejuk tap aku tak bisa merasakannya,
Kurangkul tubuhnya, isaknya tak berhenti. Sampai kita berdua terbenam dalam sebuah romansa malam.
***
Pagi ini aroma rumah ku tercium, sebuah senyuman menyambutku tulus, dan aku menjawab dengan senyuman kembali. Dia meletakkan secangkir teh panas dimeja beranda.
Pagi ini aku melihat rona wajah Irarini, istriku biasa, tak ada sudut kecewa atau dia tak memahami rahasia yang kusembunyikan.
"Duduklah disini!" pintaku padanya
Bagaimana kalau kita pindah rumah, kebetulan ada yang menawari tugas kantor diluar pulau. Gimana? tanyaku hati-hati
"Aku ikut denganmu. Semoga ini menjadi awal yang indah." harapmu sambil tersenyum, menyeduhkan teh panas. "Minumlah."
Benar saja kutinggalkan kota ini. Bukankah kesalahan tak boleh terulang, dan aku menyiapkan untuk pantas dilihat Tuhan.
Aku mencintai aku miliki sekarang, hidup dan mencintai yang menjadi realita,
Meninggalkan kantor, meninggalkan Amira, mengganti nomor, menutup akun selamanya. Facebook
Sebelumnya kutinggalkan simple massage di inboxku. "Selamat Tinggal"
Dia menghisap dan menghembuskan asapnya, menciptakan bulatan-bulatan kecil yang semakin pudar dari bibir merahnya
Aku hanya bisa menatapnya, mencoba membaca dari gerak mata dan kaki jigangnya. Cemas.
Pandangannya dibuang diluar jendela, hiruk pikuk kota yang tak pernah tidur.
Aku menemani Amira. Perempuan cantik disampingku. Sang mantan terindah yang kutemukan lima bulan yang lalu.
Ya. Pertemuan tak direncana, tanpa undangan. Melalui jejaring sosial. Ya benar, Facebook
Sudah beberapa tahun yang lalu, setelah lulus kuliah kami berpisah. tepatnya tak ada perjanjian perpisahan.
Yang jelas, kita berdua sama-sama kehilangan komunikasi.
Perjumpaan kali ini, seperti membuka kembali ruang yang pernah terisi. Perjumpaan indah tapi juga beban yang begitu berat.
Setelah aku memiliki dia, menjadi Hermawan suami Irarini, wanita yang menemaniku saat ini. Wanita itu memang bukan kekasihku, tapi aku memilihnya karena dia pilihan ibuku.
"Bagaimana tentang aku?" tanya mu.
Beberapa menit kemudian kita diam, masing-masing tak bisa menyembunyikan kegaduhan jantung.
Amira perempuan yang begitu aku cintai dulu.
"Rasanya pantaskah aku menyesal membuat akun itu?" kataku
"Bagaimana dengan aku" tanyamu kembali
Tak lebih kita itu seperti sebuah kertas yang terbakar menjadi abu, dan tak mungkin kembali menjadi kertas putih yang bisa tertulis kembali
Kenapa kita begitu picik, dan aku juga seperti seorang lelaki pesakitan
yang begitu pintar menyembunyikan rahasia, sampai dia tak mengetahuinya.
Atau aku begitu licik, bisa memutar balikkan alasan yang kerap aku paparkan
"Kau priaku..." katamu seraya menangsek pandangan kearahku
"Kau mencintainya?" tanyamu kembali,
Cinta,... ketika kepahitan dan kesendirian itu menghampiriku
aku tak ubahnya menjadi lilin padam tersudut diruangan.
aku tak ubahnya merpati kecil yang tak bersayap
"salah ketika aku butuh api untuk menjadi terang ruang kosong itu,
keliru ketika sang merpati itu mengharap tumbuhnya sayap baru?
Aku melihatnya memainkan bulatan-bulatan asap dari mulutnya, kadang dihisapnya dalam
"Kau masih suka menulis?" tanyaku.
Dijawabnya hanya dengan menggeleng sambil memainkan sebatang rokok di sela jemarinya. Begitu mahir jari-jarinya menari.
"Jadi tulisanmu berhenti pada satu puisi itu?" tanyaku lagi
Hilang
Sebelum senja ranum
Hujan tak kutemukan
Yang biasa manja
Pipi merona Jingga
Sirna
Dibalik awan
Atau bersembunyi di bongkahan batu besar
Atau mati di tindih mendung hitam
Hujan kali ini bukan bening
Tapi warna keruh airnya jatuh
Dan ku membiarkannya kuyup
"Cukup!!" jangan kau teruskan itu.
"Jadi itu tentang aku." jawabku menatapmu. Dan kaupun tersedu, dengan kedua bahu yang bergerak.
"Menangislah? jangan bendung air mata itu.." kataku. Dadaku ini cukup bidang untuk kau berandar. Kuras semua airmatamu dan aku akan diam memaknainya.
Benar saja, Amira menangis sejadi-jadinya, dia membiarkan kemeja basah. Aku merangkulnya. Ruang hotel ini sejuk tap aku tak bisa merasakannya,
Kurangkul tubuhnya, isaknya tak berhenti. Sampai kita berdua terbenam dalam sebuah romansa malam.
***
Pagi ini aroma rumah ku tercium, sebuah senyuman menyambutku tulus, dan aku menjawab dengan senyuman kembali. Dia meletakkan secangkir teh panas dimeja beranda.
Pagi ini aku melihat rona wajah Irarini, istriku biasa, tak ada sudut kecewa atau dia tak memahami rahasia yang kusembunyikan.
"Duduklah disini!" pintaku padanya
Bagaimana kalau kita pindah rumah, kebetulan ada yang menawari tugas kantor diluar pulau. Gimana? tanyaku hati-hati
"Aku ikut denganmu. Semoga ini menjadi awal yang indah." harapmu sambil tersenyum, menyeduhkan teh panas. "Minumlah."
Benar saja kutinggalkan kota ini. Bukankah kesalahan tak boleh terulang, dan aku menyiapkan untuk pantas dilihat Tuhan.
Aku mencintai aku miliki sekarang, hidup dan mencintai yang menjadi realita,
Meninggalkan kantor, meninggalkan Amira, mengganti nomor, menutup akun selamanya. Facebook
Sebelumnya kutinggalkan simple massage di inboxku. "Selamat Tinggal"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar