Rabu, 29 Februari 2012

xxx







Dear You ...



Menemukanmu ...seperti aku menemukan bejana perak yang menghilang tertimbun deru debu yang dekil, semburan lahar dingin dari kokohnya gunung yang menjulang.  Ruang itu masih saja tak berpenghuni, setelah kaki-kaki kecil menghilang bersama bayang-bayangan samar.  Bejana itu muncul dipermukaan, disaat lumpur membenamkan, di saat debu menutupi dan rontok daun kering menyamarkan.
Ada jiwa terhempas, tak wajar.  Terdampar di gulung tikar. Sendiri...dan menemukanmu di baliknya.

Dear You ...

Hingarku pada indahnya tutur. Semburat kabut tipis menutupi jiwa kusut..luput dari pandangan. Laksana indah bejanamu tak dapat ku lukis kilau ukirannya. Kerling jiwa dalam sambut sanubari dalam rangkul setia.  Indahmu mengkukuhkan  semat jiwa yang  mengikat. Lucuti hati di sanubari.

Setiaku kini...pada mu, mirhab hati saat menemukanmu...kembali.

Minggu, 26 Februari 2012

kusaksikan...kau dalam pergimu

Belum lama, sejak gelap itu beranjak, memang terlalu singkat untuk tafsirkan senyum, tawa lepasmu. Sejenak, kebisuan itu datang, hanya sejenak. Saat detak waktu semakin memutar jelas, menjadi rentang dinding rindu.
Kita telah berjanji?? Tak akan membiarkan kabut menghentikan pandangan kita. Tak jua julang gunung membatasi bujur raga kita. Karena sakit rasa, jika semua harus menghilang sia-sia.

Baru saja gerimisku berlalu malam itu. Sapa pagiku juga sementara, menggandengku, dan menghilang kala terik tepat membayar tuntas rinduku. Pergimu terbawa sang penguasa ragamu, seolah melirik tepat di jemari manismu. Melepasmu??

Terima kasih, untuk ukiran indah di angkasa biruku, untuk derai tawa seperti  kidung bahagia para bidadari suci. Sekarang, izinkan aku untuk terus mengingatmu, karena pejamku pada malam, tak mampu menghapus   jamah lembut jemari, tak bisa melenyapkan hangat desah peluk, tak membiarkan kecup mesra di ujung bibir dan...menghapus  sepi di atas kerinduanku...

Suatu  saat nanti, saat mimpi yang kita sandarkan harus berakhir. Jangan pernah lupakan hari ini, Hari dimana kita memulai dengan senyum bahagia dimana kita merasa hidup selamanya...

Dan kusaksikan kau pergi...bersama gulita merengkuku malam..itu 

d r e a m . . .

Tak salah...jika aku tetap berdiri, di sudut diam. Mengantri bersama jutaan pemimpi. Tak ingin terbangun. Sampai sang mentari jelas menampar, membangunkan raga untuk terhenyak sejenak. Tak sanggup...melipat yang telah terbuka. Lembaran kisah yang telah tertulis oleh  sang pujangga aksara. Masih membiarkan terbuka, terbias pada sosok pembawa tahta jiwa.

Tak  salah...ku menantinya. Pada hujan yang membawa kesejukan, dan pelangi sebagai balas kesetiaan.  Rengkuh, sebongkah tubuh yang bernafas. Dengan banyak mimpi yang tak terpenuhi. Meski satu perstu menatap, dengan mimik muka enggan, bertanyalah mereka, adakah mimpi tergantikan??? Namun jawab singkat selalu terdapat, aku tak akan beranjak dan berdiri diamku, aku tak ingin terbangun dari segudang lamun, mimpi bukan erangku, biarlah...kedua sayap ini yang membawanya terbang ke alam sempurna, alam mimpi yang begitu sempurna...dan aku tak mau terbangun sampai kau bangunkan aku dan memberi senyum nyata.

Jumat, 24 Februari 2012


S E T I A koe

buih itu menghapusnya,
menghapus jejak-jejak setapak
menyapu bersama sembilunya kalbu
memecah dengan deburan obak memecah batu karang

indahnya lukisan alam
menggantikan senja di ujung lautan
tak mampu menggantikan,
tak bisa menggambarkan perihnya
luka yang tertanam...

hampir saja,
jadi serpihan-serpihan karang menjadi renik
dan menjadi ribuan pasir putih 
dengan kesetiaan menemani sang lautan.

gambarku padamu..lautku dan butir pasir
adalah asa yang tercipta
dalam hempasan gelombang
memporak porandakan...

setia...masih tetap setia
pada satu kewajiban

I love you ...


Tak berujung, entah berapa lama. Jiwa ini terbang, saat sayap patahan menghentikan kepaknya.  Ribuan detik waktu berdentang, memperdengakan alunan musik kerinduan, di tempat yang tak bertujuan.  Kau tau kekasih hatiku...masihkah kau mengingat keteduhan itu, permainan rintik daun flamboyan berguguran.  Seolah rinai dikala derasnya hujan.

Masih ingatkah... saat rembulan bersinar, terang. Ada penantian  seseorang. Bermasa kerlip bintang tang bertaburan di gelapnya malam, meluki wajah yang tersembunyi di balai seluet bulan.
Sang pujaan, saat bertandang.  Gelap jiwa menjadi terang. Tergambar jelas raut wajah suka cita, dan pelukan hangat tercipta. Yang tersebutnya, yang teristimewa...kini menjadi lukisan abadi di relung sanubari, dengan satu nyala lentera terang, menjadi benderang...

Dalam dekapmu, luntur laraku. Inginnya palingkan wajahmu sesaat,  tatap lekat dalam dekap, abadimu dekat di hatimu..di hati terdalammu.... 
tarian bidadari kecilku

sibakkan rambut yang tergerai,
dengan raut wajah centit,
berlenggang di depan sebuah kaca besar.
dengan selendang pemberian yang tersayang

gemulai lucu setiap gerak,
langkah kaki menapak berjinjit,
musik yang tercipta dari bibir kecilnya

kau begitu sempurna,
dengan gemulai dan sibak an selendang
menjadikan seperti pentas di sebuah panggung akbar
ohhh...

tak kau sadari, sepasang mata menatapmu
mencuri setiap gerak gemulaimu...
sedikit bergumam...
kau seperti aku...begitulah aku dulu
aku adalah cerminmu,
kapanpun bisa membuatmu berkaca...
bukan hanya mempercantik, memperindah gemulaimu
juga..ada sesuatu didalamnya itu yang 
penting buatmu.

MALAM


semalam aku menatap bintang
mencari tempat persembunyian malaikat keindahan
dia yang bisa membuat warna langit
menjadi sangat mengagumkan

semalam aku menanti sang bulan
mencari tau dimanakah 
tempat bersembunyi bidadari kerinduan
hanya dia yang bisa membuat gelap
semburat terang dengan sinarnya

ku biarkan angin memainkan 
rona wajah memerah
ku biarkan air hujan
membasahi kecup bibir merah

tenangnya jiwa, kala sepasang merpati
pembawa pesan mengitari istana pengharapan
mendapatkan ribuan bintang berhambur
seolah berkata...
kutemani jiwa lelah dalam sepi menyelimuti
sampai kau terlelap bermain bersama mimpi
indahmu, menemui pengelana di hujung sanubari

Kamis, 23 Februari 2012

pernah menyampaikan

padanya aku pernah berkata
tentang keabadian 
tentang dihargai dan menghargai
tentang bagaimana menenangkan jiwa

padanya pula aku pernah meminta
bukan tentang gunungan emas 
bukan tentang lautan bebas
dengan jutaan mutiara

padanya pula aku pernah mengiba
mengatakan yang tak semestinya
diamlah...
dengan sejuta perasaan yang tak juga semestinya
diungkapkan

padanya pula aku pernah menyampaikan
ini aku...
dengan segenap dan semua tentang aku
tak ada yang tertutupi
tak ada yang tersembunyi
ini aku...
inilah diriku,
tak terlihat oleh mata hati

Rabu, 22 Februari 2012

aku ...............

kemana kaki akan melangkah,
menapak jejak di pasir
membiarkan hilang oleh riak dan buih gelombang

kemana lagi kaki akan beranjak
tak ada tempat rindang untuk 
berteduhku...

haruskan jiwaku
terbang ketempat pemilik jiwa sesungguhnya
berlutut di sebuah kamar gelap
menelanjangi diri
atas semua untuk NYA
pemilik jiwa sesungguhnya
hanya dengan tanpa alas kaki,
pantaskan...sucikah..
atau di dengarkankah kembali.

23 pebruari tepat pagi ....

bukan sempurnamu,
ciptaanmu...
seperti secarik kertas
dalam genggaman tanganmu
kau lipat-lipat menjadi
beberapa bagian dan kau jadikan sesuatu
kertas dengan banyak
cipratan tinta

kuasa ciptaanmu...
seperti sebuah lirik lagi
dengan nada pas yang 
sekenanya kau rubah 
lebih baik,
sedikit melenceng dari nada aslinya.

ini...
sesaat memperhatikan sebuah pohon flamboyan
di sebuah taman, dengan daun banyak dan bunga
bertaburan di setiap ranting cabangnya
rindang...mengamati dengan keteduhan
...
menghirup ketenangan dibawahnya,
menjadi naungan sebuah pemandangan
seperti harmonisasi kuasa alam

ini...
masih memandang kosong, kerinduan,
pengharapan yang amblas dengan 
peleburan lumpur yang ditanamnya
lenyap, bersama gemercik hujan deras
yang melunturkan warna indah
dari rona wajah manisnya.

ohhh....

let me .....

sekali lagi,
diam terpekur
mendengarkan dan...
menelan bulat-bulat

yang menjadi penguasa atas raga
mmemecahkan batu diatas kepala
menjadi hancur berkeping-keping
berserakan bahkan sampai terjatuh kedalam sungai
yang beraliran deras

penguasaku, penguasa jiwaku...

atasku, atas nama sebuah cinta
menjadi debu ...
menghilang di terjang gelombang pasang
tak lagi terhempas, bahkan bertepi

ku biarkan kau penguasaku
melanjutkan gayung perahu 
membiarkan mutiara ku bersamamu
tak sanggup raga lemah ini mengikuti gayung mu
tertinggal jauh hingga tak terlihat kembali

lambaian tangan perminta ijinan 
atas sebuah kesalahan...
perendahan tak bisa diteruskan
...
kau penguasa jiwa ku atas diriku
melepaskan dan membiarkan terbang
untuk berkicau kembali
adalah keindahan ku...

Selasa, 21 Februari 2012

IMSONIA

termaram...
mata mata tak terpejam
sedetikpun masih enggan
terkadang...
jiwa sepi, menyendiri
saat sang penguasa raga pergi
mata benar-benar tak terpejam
sekalipun hitungan
cara mengusai diri
masih saja terbelalak...

imsonia...ku
seperti berenang di gelapnya malam
menghitung satu persatu bintang
mencoba memperhatikan bulan
adakah sosok bidadari penghuni bulatan indah
itu muncl di hadapan

masih terjaga,
hingga malam menyisakan hening
hanya suara binatang malam dalam ringkikan
hanya desir angin yang menggesek dahan
pepohonan jati dengan kesombongan

hanya beberapa menit berlalu,
sebentar mata tertutup
suara kokok ayam, membangunkan..
dan suara TUHAN di perdengungkan

gemulai tarian tubuh tercipta
di tengah kokok ayam
lirih sang alam menyapa sebelum mentari datang menyambang

"selamat pagi dunia, buka mata
dan nikmati yang Allah berikan hari ini,
sampai nanti kau tak bisa menutup mata kembali,
karena imsonia mu... nikmatilah"

Senin, 20 Februari 2012

perempuan sederhana...dibalik jendela


dan ...
tentang dia perempuan biasa
di balik jendela,
melihat, wajahnya di hembuskan sang bayu
melihat angin semilir memainkan anak rambut
yang tumbuh lebat di mahkota indahnya

ingin aku melambaikan tangan
sekedar mengenalnya,
oh....tatapn sendu wanita itu
tak cukup menciutkan hatiku,
aku terlelap dalam bisunya diri,
memaknai hati

aku menatapmu perempuanku
yang sangat sederhana,
persembunyianmu di balik jendela, hanya
terlihat wajah dan rona muka memerah
kala menyapa, itu tak bisa kau sembunyikan
seluruh raga dibaliknya...

ada apa dibalik tubuh yang kau sembunyikan
di sekat jendela...
apakah kau pincang, atau tak punya sepasang kaki
untuk penopang...

perempuan sederhanaku...
keluarlah dari jendela,
lihatlah luas cakrawala..
ada kehidupan indah disana
menanti hadirmu, sapamu, dan eksotik mu
juga aroma harum yang keluar dari ragamu...
keluarlah...
yakinlah...
di sana ada aku...yang selalu menatapmu.

when I say to you ...

aku mengatakan padamu,
sebelum kau beranjak dari tempat dudukmu
hentikan langkahmu sejenak,
hirup dan hembus sisa nafas untukku

aku mengatakan padamu,
sebelum kau menghilang dari bayangan
sisakan bagian dari punggungmu
biarkan aku hanya menatapnya
tanpa melihat muka

aku berkata padamu, kala itu
bukan untuk memohon padamu
hanya hargailah pertemuan yang telah memberikan cerita
jangan kau buang begitu saja,
seperti selembar kertas usang yang
penuh dengan coretan tak bermakna...

setelah itu,
lepaskan genggaman tangan, dan pelukan hangat
terbanglah bersama surga dan damai hati

Minggu, 19 Februari 2012

TENTANG KEKASIH GELAP...

Laksana langit tapa mega, laksana cinta tak bertahta
aku berdiri disini...
selanjutnya malam menatap langit, sepi, gelapku menunggu
tanpa tau apa yang diperbuat, menunggu, hanya menunggu...
Saat pertama mendengarmu, senyum, dan apa yang terjadi di hati ini
Jatuh kah aku, atau hanya rasa ingin memilikimu...
dan diam berlalu...
Penyair Cinta...
Salahkah diri saat mendengar tawanya,
salahkah jika tubuhku bergetar dengan suaranya.
Hai Sanga Bijak...
Katakanlah, bagimu ini hanya sebuah mimpi atau ilusi
Tak penting, bagiku begitu jelas rasa ini benar untukmu...

understood

hanya menyudahi
bukan mengakhiri

hanya mendiamkan
bukan menncoba hilang

hanya untuk menenangkan
agar semua paham,
segala yang menjadi masalah
dan yang membuat masalah

mengertilah...pahamilah

biasanya...terbiasa

Biasanya ...
saat malam menjadi benar-benar gelap
dan sang bulan mulai merangkak menjauh dari peraduan
aku menemukanmu di tembok harapan...dingin dan lembab

Biasanya ...
saat mentari mulai dengan teriknya menjadi terbakar
semua yang bernyawa,
aku mendengarnya dengan sebuah suara manja
yang lirih menggoda

Biasanya ...
senja berjalan menyusuri jalan setapak dan hampar
birunya langit, mengiringi semburat warna emas...
kau berada diantara warna senja dan malam...
diam hanya menatap,
heningnya kini menjadi benar-benar mati,
suaranya tak terdengar lagi dan saat ini
hanya bisa menghiba dalam hati
meski ada yang menghilang pastikan
Do'a dari seribu harapan tercipta.

Biasanya ...
kini semoga menjadi yang terbiasa....
harapannya.

..yang mengatas namakan cinta

aq hanya bersembunyi di tiang rapuh, sendiri...menatap tajam kesebuah lukisan indah yang berdarah diseberang sana. Aq hanya meratap lekat gemulai tari perempuan berwajah muram...
apa yang kau sembunyikan saat mata kau benamkan dalam selunjur bentang kain suci, tak sadarkah, ulur tangan meraih jemari,
kalbu bicara untuknya, semua tentangnya...
kukumpulkan kembali yang berserak di halaman rumah, menjadi gunungan asa, satu persembahan....
yang mengatas namakan cinta...

Bijaknya TuhanKU

Apapun peristiwa dan kejadian yang teralami dan yang  terjadi, hanya sebuah cerita yang yang diberikan tuhan untuk  kita, ..tinggal kita sendiri ,yang mampu memahami makna dari cerita dan peristiwa tersebut. Mampukah kita berdiri tegap diantara puing dari satu peristiwa menyayat atau bahkan kita mengontrol saat menari-nari diatas suka cinta... Tuhan Ku Maha Bijaksana, dan Dia tau apa yang indah buat hambanya....
Bimbing dan restuNya pelindung kita....

Jumat, 17 Februari 2012

dan...senandung yang kunantikan












dan...

saat bibirnya mengalun kan bait-bait sendu
kukatakan padanya tentang sesuatu..
lagukan semua syair indah yang pernah tercipta
dari sebuah jemari indahmu
dendangkan dengan suara-suara merdumu yang
lembut mengalun menina bobokan sanubariku

engkau mengerti apa yang kuminta,
dari sebuah salut yang kuat dengan untaian
ikatan suci yang mengikat setiap kaki dan tangan
bukan belenggu namun sebuah tali simpul
yang erat mengikat kalbu menjadi gumpalan indah

pahami, akan sebuah ikrar yang menjadikan
jiwa mu indah, selaksa hati membumbung di ketinggian surga

tak mampu beranjak, ditepian pasir yang kering
masih sama seperti semula, tak bergeming namun bergeser
sedang lantunan senandung terus membuai di balik
jubah kenyataan, jubah indah meneman saat purnama tiba

dan...
masih saja ternikmati, senandung buainya,
membuai menerpa dan merampas istirahat malam
dengan sebuah penantian...
keindahannya, lantun syair yang membuai...
menjadikan aku dan niatan kepastian...

hhhhh....
dan aku menghargai sebuah pengorban,
sebuah senandung yang keluar dari bibir indah.

I lied...


Dustaku....

Ingin melukis gumpalan nyata sang surya dengan kilau benderangnya yang menyilaukan. Panas merangas, membuat kerontangnya jiwa. Ingin menggambar sebuah gunungan es yang menjulang, pekat dan mengilukan. Hingga surya yang merangas, mampu meleburkan gunungan es yang menjadi gumpalah hati membeku. Dingin ...............

Dustaku....
Memaksa untuk tidak berkata “iya”, memaksa untuk menggeleng kepala, memaksa untuk enyahkan langkah kaki. Menjauh dan sebegitu jauhnya....sampai titik batas nadir mengatakan, ini harus, ....

Dustaku...
Saat tak bisa menutupi bias kerinduan, saat tak berdalih, saat tak menyembunyikan tetes air mata yang semula menggenang sampai akhirnya jatuhlah menjadi bulir-bulir kesedihan....tak bisa, sungguh tak bisa....
Kesalahan akan dustaku saat itu....

Terjebak, dan menikmati hasil karya ku sendiri, dengan ribuan kata tentang betapa perih, menahan...merintih melewati aliran pena. Memberi ribukan kiasan dengan makna dalam, yang entak mengerti atau juga tak dimengerti, sampai atau bahkan berhenti ditengah jalan, kerinduan yang tak berujung, kerinduan pada yang tak pernah muncul.....

Merasa...
Terasa, saat melewati jalan-jalan yang pernah dilalui, yang pernah tersinggahi, tergambar jelas semburat wajah lugu yang indah....bersama melewati hamparan hijau sawah dengan nyanyian-nyanyian kecil burung pipit berlarian dipematang, tawa, terengah...bermandikan peluh bercucuran , menikmati wajah lugu di tenangnya gelombang di bentangnya laut bebas, dengan bermain buih di pinggir pantai, membangun istana pasir dengan kuat dan saat terhempas di kumpulan pasir putih...merasakan indahnya kecupan , saat sunset menjadi perhiasan sempurna lautan.

Dan...ketika,
Kesimpulan adanya rasa, tertinggal...jauh, melepaskan adalah dustaku, menyisakan kenangan adalah penyesalanku...benar. Seolah bibir tak bisa berkata, mulut tak bisa bicara, rongga jiwa melebur musnah tak kala wajah lugu tak lagi sendu, wajah lugu tak lagi menggambarkan lukisan, wajah lugu tak jadi inspirasi tulisanku, wajah lugu tak lagi punya arti lagi...itu semua karena dustaku...dusta yang menyakitkan perasaan, dusta yang memaksakan meleburkan kerinduan...Menatapnya hanya menatap wajah itu...dengan harap, lukisan keindahan, dan membiarkan ragaku pada dustaku yang kuciptakan.

Maafkan dustaku...pada perasaanmu untuk gadis berwajah lugu

KAU yang berkuasa

selaksa detik langkah musyafir
menyusuri liku dan kelok perjalananany
munajat terdengar terucap dari bibir
hamba tak berdaya...

selaksa titah sang raja
tertunduk dan terbungkuk menghadap
menata setiap uraian kata
merajutnya menjadi kalimat terhormat

lihatlah sepasang mata sayunya
jawaban terlintas dari binar mata
yang tak berhenti berkedip
perhatikan setiap derai tawanya
disetiap ujung tawa ada harapan yang terbelenggu

Kau sang punya segalanya...
titahmu penuntunku, munajatku melumpuhkanku
tenangkan sejenak jiwa ini, yang terbungkam bersama hati.
lepaskan rantai yang membelenggunya
berjalan mengiringi musyafir kalbu
pengorbanan raga dan jiwa
isi kembali dengan dengungan kalimahmu...
kau sang punya segalanya...
dengar permohonan hamba.

Engkau maha menyaksikan

rinai hujan membasahi tanah keringku
gemerciknya membangunkan tidur pulasnya
seolah nyanyian penyambutan untuk sesaji
segarkah tanahku sekarang?

rinai itu menggelombangkan telaga kecil 
teratai mungil tersenyum manakalah tetesan
air hujan membasahi mahkotanya
menjulur terombang ambing

deskripsikan tanahku, deskripsikan hujan pertamaku
mendekap rangkulan selaksa penuh ketulusan
pelipur laraku mengucap syukur
memmbahana di relung jiwa kedamaianku

angin ikut menyambutnya
memainkan helai demi helai ranting di pohonnya yang kokoh
jangan lelah, jangan pasrah dahanku
tetaplah meliukkan menarikan tarian hujanmu

Ya robb....
awan ini tak akan menampakkan kecerahan tanpa kuasaMu
hujan itu tak akan mengguyur tanpa restuMU
ENGKAU MAHA MENYAKSIKAN
melihat setiap ciptaMu 
dalam garisan TakdirMU
KAU maha Dzat di segala bumi ...

Dahulu raut wajah ini sendu pilu

Dahulu raut wajah ini sendu pilu. Kebisuan dari  ucapan yang tak terdengar. 
Dahulu wajah ini muram. Menahan luka dari jelaga yang menganga. 
Dahulu wajah ini hampa  memendam seribu hasrat terlepas...
desis hati dengan cinta dan nista yang masih bersama.... 
Hasrat hati bukan bermain kata, pena ini menari mengalir sesuai isi hati, 
menghiba atas alunan jiwa kerinduan yang tertata rapi di sanubari. 
Seperti eloknya sang pungguk menyanyikan panggilan sayu...

Aku memilih mengganti kalimat sendu menjadi syair cinta 
yg semestinya menjadi alunan pujian jiwamu, 
Yang pasti semua kalimat ini, 
tertata dalam secarik kertas untuk melukiskan pesona jiwa, 
mengenang kata kata cinta dibenakmu...

Merindukanmu? Jelas merindumu? 
Tak ada yang menyangkalnya, lumrah, wajar. 
Insani yang indah, terbuai dalam helai2an sendu merayu. 
Bukan puisi tentang cinta namun hanya sebatas bait-bait 
kerinduan yang jelas nyata mendamba. 
Meraba ilusi dan membalikkan yang ilusi 
menjadi sesuatu yang lebih nyata. 
Dalam kejujuran ....

Malam yang sunyi sepi














malam, ...
lengang berkelambu sunyi
sepi, sunyi berselimutkan jiwa
dari balik tirai jendela
sinar bintang terlihat ...

keindahan membiaskan sinarnya,
dekapan keteduhan terbayangkan
hangat mengalir direlung jiwa
keharuan mengingatkan

pelipurku membaur dihati
ucap lirihku menegurmu
samakah denganmu..

Seperti yang sudah terjadi
jangan biarkan malam berlalu
kesendirian, kesepianmu

melangkahlah saat mentari mulai terbit
berjalanlah dengan langkah ringan
jika perlu berlarilah dengan cepat

yakinlah ..
kakimu kuat untuk itu
tersenyumlah...
apapun yang terjadi
masih ada genggam tangan yang bersedia
menjadi penyanggamu berdiri

freedom....














Mata membelak menyaksikan sendiri
bukan hanya dengan mata juga dengan hati
kala pantai mengikat erat
dan belenggu menyita kuat

kau berlari...
dengan wajah mendongak dan pundak terangkat
menari mengelilingi api kedamaian
memenjara awan hitam dan menggembala hujan

tegak menjulang bagai tiang
tak terpatahkan meski kapak menerjang
bebaskan nurani pada belenggu jiwa
melanga jagat, membebaskan najwa

jika saat nanti hilang bayangan lenyap
menghilang...
cahaya surya tersisa
mengganti cahaya lama yang hilang
dan
jika belenggu terlepas
belenggu baru mengkait dengan kuat..
bebas...





nafas panjang



penderma jiwa yang miskin
yang papa tak punya apa
melapangkan memberi asa yang luas
memberi serapah menghilangkan gundah

ada coretan lalu dan usang
menapakkan sayatan2 kecil dari ujung pena
tergambar jelas bukan hanya diselembar kertas
juga di dinding samar, meski kini membuyar

hilang dari pandangan,
sapapun tak sua...
di ujung pena
dipengakhiran kalimat yang bernuansa.

kerinduan pada sang jiwa
nestapa pada belahan yang tak tergambar
buyarkan lamunan
dalam kesepian panjang

....

uhhhh

apa aku bagimu!!



Sederhana,
simple pertanyaanku,
dengar dan jawablah...

aku bukan batu karang
yang keras meski diterjang ombak besar
aku bukan setiap kalimat yang kuucap
seperti nyanyian buaian lelapmu

gemuruh angin memecah kebisuan
mendapati sang bulan tetap melingkar diperaduan
lirih sayup terdengar
sang angin malam merayu

gemuruh jantung menyekat kerinduan
terbuai suara manja sang perawan
seakan berhenti detak hati
menyimak rayu tiada henti

meronta, terhimpit batu karang
kokoh, dingin ...
bergolak tersiram riak laut
bertubi merobohkan semua

Rinduku

Kebisuan ini membungkam bibir
melumat dalam kebisuan
membiarkan terhempasnya tubuhku
merasakan diantara pori-pori

kurasakan kedatangannya
bidadari hati kerinduan, menahan lirih
detak jantung berdebar cepat
tak terhentikan, tepat...

lantunan syair rindu, terus berirama
mengharapkan sesuatu...
sepeti sebatang bunga disebuah taman
yang mendapat setetes embun dipagi hari

ah...
benarkah dia tau? apa yang ada disini
kerinduan...dan segarnya suasana hati
ah...
aku tak sanggup membuangnya apa lagi melupakannya
aku tau, ini karena mu..hanya untukmu

takdir nya

membaca lembut kata tulusnya
di atas lembaran kertas menguning
hingga terlupa aku menyelipkannya
seutas doa yang tersangkut di atas ranting

ada takdir melihatnya,
ada takdir menemukannya,
ada takdir mendamba
ada takdir pula yang tak mengena

rindu pada tangis dulu,
saat gema bertalu mendekap
dan ketakperdulian meratap
ini...
kuhantarkan padaMu duniaku

Saat purnama sempurna lingkarnya


saat purnama sempurna lingkarnya
ada sudut kuasa
yang merenda menjadi penghias tirai
tengkurap raga melepas lelah
diam di bawah tumpukan mendung
samar wajah indah di depan mata
menatap menggoda mengerlingkan mata
seolah mengikutkan tarian gemulai tubuhnya
...lentik jemari menyapu bersih ragu
kecupan bibir pudarkan setianya

menari mengikuti gemulai tubuh kekasih
kau...menemani malam senduku,
kau ikutkan aku dalam opera dusta...

terjaga dari pertunjukan yang menguras tenaga
menatap satu gambar dari sebuah cermin usang
tubuh indah dengan liuk gemulai
hanya bayang kosong yang tak tampak di cermin
tubuh kekasih menghilang,
bersama selesainya semua pertunjukan tadi malam...

seperti semula kembali kealam terbuka dunia
dan saat raga mulai ingin sebuah tarian indah
kupicingkan satu mata dan kupanggil kau dari dalam bayang
kekasih...kurindu gemulai tubuh.

Tenang Ku



aku...
merasakan damai dan tenangku

aku...
merasakan indah dan tentramku

aku...
merasakan indahnya memikirkan
yang membuat ketenanganku,
dan tak berhenti mengindahkan
ketentramanku...
itulah pemikiran hatiku

saat ini..
kebahagiaan atas anugrah sang illahi
yang terpunyai atas diriku dan seluruh
cipta abadinya....

Kamis, 16 Februari 2012

Warna Pelangi


pelangi diantara rindangannya pepohonan
dia pucuk-pucuk daun yang dihembuskan
semilirnya angin

pelangi disudut ruang,
memberi bias warna hangatnya
diantara kerinduan dan cinta

pelangi di sepanjang jalan,
dengan perjanjian kesetiaan
dan sebuah pengharapan

pelangi...
tak memudar warna hangatnya,
memancarkan warna sendu
diantara kecerahan