Senin, 30 Juli 2012

Jangan pergi sebelum aku ?


Jangan pergi sebelum aku
Belum sempat
Kuperlihatkan puisi cintaku
Kepadamu

Jangan pergi sebelum aku
Belum sempat
Kubacakan sajak rindu
Untukmu

Jangan pergi sebelum aku
Karena belum lengkap
Puisi dan sajakku
Memaknaimu

Minggu, 29 Juli 2012

tetaplah disini


Tetaplah di sini, seperti dulu kita sering menatap mentari. Bersama menghirup aroma pagi yang masih bergelayutkan kabut beku. 
Duduk di pembaringan menikmati gugusan bintang dengan bentuk rasi-rasinya.

Tetaplah di sini, tapi jangan berdiri di depanku. Untuk melihat jelas raut muka, berdirilah di sampingku. Kita tanami ladang gerasang itu
dengan perdu wewangian. Dengan aroma surga yang biasa kerap kau bawa di sungging senyum dan tatapan mata. Atau ..
Berdirilah di belakangku, seolah kau bayangan takdirku. 

Masihlah di sini, dengan setia menanti bait perbait puisi yang belum jadi. Kita bersama merangkai sajak, tanpa harus meninggalkan jejak. 
Saling memilin mimpi dan membenamkan luka yang dulu pernah menganga.

Aku ingin kau tetap disini, bukan untuk ragaku, namun untuk tenang akan jiwaku. Karena matamu adalah kedamaian yang tak bisa kusembunyikan.

* Tentang setia


Belum sempat aku melahirkan kalimat rindu dalam untaikan aksaramu. Kalimat itu kudengar dari bibirmu, tapi bukan aku itu bukan untuk aku. 

Serasa hilang jiwa ini, meregang. Aku hilang akal. Seperti aku bernyanyi dalam ruangan sepi yang tak berpenghuni, hanya ditemani rasa..rasaku sendiri.

Ini tak benar dan tak bisa dilanjutkan, jika nanti hembus angin tak membawa pesan rindu untukmu, jangan salahkan aku. Aku hanya mau sedikit membuka jiwaku bahwa seluruh aksaramu memang bukan aku.

Dan untukmu kupersembahkan sepenggal sajak maaf, karena aku tak bisa lelah menanggalkan kisah yang belum selesai terpecah.

*Tentang setia

Sempurna !!!

Gugusan bintang ini menemaniku. Kedipnya seolah mengatakan, "Ada apa denganmu?" 
Aku seperti melihat ribuan kunang menari berputar mengeliling raga indahmu, bercahaya...
Dan itu aku melihat ratusan bunga krisan  terlukis di rona wajahmu, berwarna, beraroma...
Lihat matamu, apa itu ?? seperti sungi dari pegunungan bening, hingga wajah malam tergambar di sana...
Tak ketinggalan lengkung sabit terlukis disenyummu, menggantikan tangismu...
Kau tau ada desir aneh yang merambat pelan dari denyut nadi ke detak sanubari. Terdengar seperti alunan melodi pagi, sejuk...
"Apa yang terlihat kau begitu sempurna malam ini?" dan kedip bintang yang lainnya masih memainkan sinar ciptanya menanti jawaban

"Cinta. Itu saja"

Terima kasih pinangan itu...


Dia yang pertama membelai wajah manja dengan ujung jemari.
Hingga menyerupai denting irama kecapi dan berhenti di ujung bibir.

Debar ini tak lazim,hingga goncang seluruh tubuh
Seperti mendidih darahku, dan lemah setiap sendi-sendi tulangku

Kau tangkap jiwaku, dan kau bumbungkan ke puncak tertinggi.
Aku mendesah tak tentu arah, seraya pasti aku larut dalam pelukan itu.
Terima kasih telah kau beri aku indah hatimu dalam pinanganmu

Jumat, 27 Juli 2012

WANITA


maka lihatlah dia
wanita
bukan dengan hanya kedua mata

maka ciumilah dia
wanita 
bukan dengan mesra dan nafsu belaka

maka hormatilah dia
wanita
bukan dengan tunduk padanya

nikmati keindahan jiwa
dan keharuman aura pancaran hatinya
menghargai itu keinginannya
karena dia pemilik surga.

Aku telah meminjammu


aku telah meminjammu
di setiap hela dan hembus nafasku
untuk mengajarkanku 
memaknaimu dan menerima hidupku

helai cerita tercipta
dari halaman perhalaman yang bersekat
tentang perpisahan dan cinta
dan kumparan rindu yang maha

dulu aku enggan terbangun lagi
karena seketika pudar semua bias mimpi
pernah mengulang kembali
membangun mimpi yang tak terjamah lahi

disini waktu akan menguji
keberadaanmu disini
tetap mengurai hati
atau terdiam seorang diri

aku mencintaimu sekali lagi
rinduku masih tak beranjak disudut mentari

Aku menghargai kebiasaan



aku menghargai kebiasaan
seperti dahan yang menggugurkan daunnya
tentang musim
atau tentang tangan dan angin

aku menghargai tundukan kepala
seperti bintang yang tak datang jika rembulan sempurna cahayanya
tentang diam
atau kepasrahan dan penerimaan

aku memberi jemariku saat kau membutuhkan hangatnya
aku memberi keningku saat kau ucapkan kuakan setia
aku memberi percaya saat kau berkata akan kujaga
dan aku memberi jiwa ini saat kau bisikkan kaulah pialanya

tenang, dan tenang saat menerima kenyataan
biarkan semua berjalan sesuai dengan jalan tuhan.

Wahai Angin


Wahai angin,
terpa aku saat pejaman mata tak mampu terbuka
padamu telah ku pinang sebait sajak
untuk kau sandingkan dengan rembulan

wahai angin,
desahmu kunantikan, agar sejuk ladang gersang ini
menganai rintik-rintik hujan

pada langit telah kulukiskan seraut wajah diam
tak bersuara sembunyi dalam butiran hujan
pada bidak cakrawala aku telah bersuara
memanggil mendengungkan namanya

dia membebatku 
mengikat erat diujung naluri
bagai belenggu mengecam rasaku
menggengam laju jemari

Rabu, 25 Juli 2012

BEGITULAH CINTAKU


Cinta tak butuh bersujud di kakinya
Juga tak butuh pemuja pengakuan cinta
Atau baris-berbaris surat pengharapan

Aku mencintaimu
Seolah aku hidup diantara maafmu
Aku cintaimu
Seperti aku tumbuh diatas mengertimu

Cintaku sederhana, sesederhana memaknainya
Buatku saling memaafkan, dan menerima
Itu penghargaannya.

Dan aku memberikannya 
Setulus yang aku bisa karena itu aku cinta

Untuk siapa??


Wahai angin,
terpa aku saat pejaman mata tak mampu terbuka
padamu telah ku pinang sebait sajak
untuk kau sandingkan dengan rembulan

wahai angin,
desahmu kunantikan, agar sejuk ladang gersang ini
menganai rintik-rintik hujan

pada langit telah kulukiskan seraut wajah diam
tak bersuara sembunyi dalam butiran hujan
pada bidak cakrawala aku telah bersuara
memanggil mendengungkan namanya

dia membebatku 
mengikat erat diujung naluri
bagai belenggu mengecam rasaku
menggengam laju jemari menari menuliskan sebuah puisi
untuk siapa? 
untuknya yang tak mampu kusebutkan namanya

Kamis, 19 Juli 2012

ANTARA HUJAN DAN AKU



SEMALAM HUJAN SAYANG?

Kau ingat tentang hujan, tentang derainya gerimis yang tiba-tiba datang, tentang desir angin yang tiba-tiba kencang. Mengacak-acak gerai rambutmu yang panjang terurai dan basahnya hingga di setiap ujungnya.
Kau masih mengenangnya? dimana saat kita berteduh dibawah pohon rindang, masih dengan gerimis yang mengusik pandangan kita.
Dekapan ragaku telah menyentuh jari jemari sukmamu. Kau tersenyum. Aku mengatakan aku suka bias itu. Yang terpancar dari bilik retina yang tak sengaja kutangkap melalui sorot mata tajamku.
Apa yang kau rasakan saat itu, sama persis dengan detak jantung yang cepat memacu.

Hujan Juliku, telah menjadikan kenangan seumur hidup. Sepintas hanya seberkas kisah biasa yang dituliskan pada lembaran tak bertinta. Bahkan bukan sempurna. Namun untukku. Hujan kisahku ini,
membawaku tak lelah bersembunyi di jelagarnya waktu. meski pergantian musim telah menjadi putaran masa menjelang selanjutnya.

Semoga semalam masih hujan sayang?

Agar aku bisa terus menikmati bias kenangan itu. Meski semua hanya lamur mati di jiwa yang tersembunyi.
Agar kisahku dan kamu saat hujan itu, masih menjadi kenangan tersendiri, sampai nanti aku lelah ikut bersandar di sisimu abadi.

aku enggan kehilangan itu


aku tak mau kehilangan itu
meski itu harus dilakukan
ada yang salah pada kisah ini
bukan kisahnya tapi pemainnya

:: Menanti sajak hujan ku



Aku rindu hujan
Rindu saat itu

Saat satu sajak terselip untukku
Mengantar keperaduan

Bercumbu semu
Memadu rindu
Aku rindu musim itu

Semusim telah kulalui
Hujanku membeku

Dan nanti saat hujan itu datang
Adakah sajak itu kembali 

Nanti akan kusisakan rintik
Untukmu, dalam sukmamu
Agar jika kau tak denganku
Masih mampu kau sisipkan sajak itu

PUISIKU UNTUKMU


Engkau yang lahir dari rintik hujan pertama,
Pun  yang telah lelah bersemi di padang hati
Engkau tumbuh dari pucuk-pucuk jiwa mati
Yang merentas menyelimuti dinginnya sanubari

Dengarkan sabdanya,
Jika takdir tak mampu dirubah
Biarkan hati ini memaknai setiap titik saat pertemuan
Ataupun saat nanti perpisahan

JANGAN PERGI ??


jangan pergi?
sempat aku berkata ,
biarkan mendung kelabu mencurahkan hujan bah nya
hingga kita menjadi dua insan yang menggigil karenanya

jangan berlalu?
itu yang telah aku ucapkan padamu
sesering kabut pagi menyelimuti bumi
sesering binatang malam mengerik mengintip di peraduan

bagaimana nanti aku memanggil rindu,
jika bumi berputar lambat
jika hujan tak bisa mengguyur hebat
dan jika jiwa itu tak lagi tertambat

ini ceritaku, tentang kisah perjalanan rindu
pada gengaman tangan yang tak bisa tergenggam
tentang lingaran yang tak bisa melingkar
ini kisah itu,
bukan ceritanya yang salah
bukan kumpulan kisah resah

hanya ingin bergerak menemuimu
menjaga kalbu tetap untukmu
sampai sembilu itu benar-benar berlalu
benar-benar enggan kau berlalu

**secangkir itu telah memberi maknda dalam**

Selasa, 17 Juli 2012

KARNA ITU CINTA ...


Aku adalah tarikan nafasmu
aku adalah airmata kerinduanmu
Aku adalah senyuman jiwamu

Cinta...itulah cinta
Adalah tarikan bumi, airmata, juga senyuman
Telusuri cinta dengan makna yang sederhana
Kita akan mendapatkan pelangi cinta kemenangan

RINDU INI BUKAN SANGSI



Dukaku berkarib dengan jejak kaki
Dia sembunyi direlung hati
Bibir terkunci terpatri meski tak tahan ingin memaki
Pada hadapan pandang sunyi kau sangsi

Jangan cinta kau tangisi
Pula tersesali  rindu yang terus menari
Biarkan, ternikmati sisa yang hampir pergi
Jika saat nanti seikat janji tak mampu terpungut lagi

Diujung malam kurebahkan sandaran keresahan
Menyisir lembut di dahan dan ranting pepohonan
Lembut mengayun saat bayu uraikan membelai
Menyusup kisi-kisi nurani yang tersembunyi

Minggu, 15 Juli 2012

Kusisakan tarian jemari untuk mencoba memaknai artimu


Hanya dalam gelap aku mempu menumbuhkan
Pada dahan dan ranting-ranting pepohonan
Pada lentera-lentera di ujung jalan
Saat hujan, pun saat kelam

Tak lupa kusampaikan salam ku untuk daratan
Untuk dia di seberang lautan
Kabar keindahan dengan berjuta rajutan impian
Menyemai di batas kalbu yang dirundung rindu

Masih ada sisa celah dari dinding bisu yang bisa kutitipkan salam
Meski hanya semalam, hanya selingkar purnama membundar
Atas restu dalam kisi-kisi hatimu
Pada sayatan takdir diatas raga yang pilu

Dengarkanlah...
Engkau surga yang kutumbuhkan bersama curah hujan
Engkau cerita yang kerap ku goreskan pada beranda sepi

Sekali lagi,

Ini kisahmu...uraian elegi kisah sepertigaku
Yang kini kutitipkan pada sepucuk daun 
Terombang-ambing ditengah lautan
Menunju tempatmu,
Semoga lelah ketepian,
Tempat dimana surga itu akan menjadi pelindungku.

Jika pelukan itu nantinya masih untukku


Peluk aku dalam jedamu, aku ingin menuai kembali serunai tawa dari canda-candamu. Aku ingin di setiap pagiku, merekam kembali sapa dari suara indahmu.

Wahai kekasih yang bernuansa biru, elegi kisah ciptaku pada dinding-dinding semu telah mampu berbicara kembali. Kidung terasa lembut merasuk relung-relung kalbuku. Ingatkah engkau pada serpihan senja yang telah kita jalani berdua? Saat itu aku telah memasung hati pada belahan jiwa, pun yang telah kehilangan langkah. Buatku kau adalah cahaya dari serpihan itu, meski kau sembunyi di balik jendera, meski kau bukan bahtera pertama. Kau lentera yang tak bisa kupadamkan, meski ribuan sinar telah menyenyinari ruang diam yang bungkam.

Wahai kekasih yang bernuansa biru, kuatkan aku. Bersamaku kita merundukkan batin meski kita tak perlu menatap sombongnya langit, angkuhnya matahari dalam peliknya dusta. Dengarkan do'aku, hening tak bersuara menjelma pada pinta dan kehendak yang berpijak...

Bukan aku yang merencanakan...

Sekali lagi ini bukanlah sebuah rencana. Sejak aku ulas tentang dia pada sang rembulan, dia hanya diam. Saat kuberikan rangkaian kembang yang kupetik dari taman hati, dia bungkam. Gemintang ini bukan tak berkilau kembali, rembulan juga tak memunculkan benderangnya. Dia hanya bersembunyi untuk sementara, mencoba untuk tidak menampakkan diri diantara lukisan malam, mencoba untuk tak memahami arti arti kidung kerinduan pada tiap malam-malam yang dibicarakan. 

Tertunduk lesu, diam tak bersuara. Secarik tulisan malam, untuknya pun melebur menjadi butiran-butiran debu malam, kau melihatnya ?? tidak... karena rasa yang tertanam ini bukan untuk di perlihatkan. Apa kau mendengarnya?? tidak juga khan...Karena memang suara hati ini bukan untuk diperdendangkan. Tak melihat dan tak bersuarapun, mereka memahami ini, tentang siapa jiwa yang terpilih. Yang indah bersembunyi di relung jiwa yang merintih. 

Kembali aku mengangkat kedua telapak tangan, membersihkan wajah yang ditumbuhi beberapa bunga liar. Mengibas-kibaskan tubuh, yang telah terkikis olah jelaga hitam. Langkah gontai untuk kembali melangkah, menjadi kian berat seperti sebuah borgol baja mengikat di pergelangan kaki. Aku  tak bisa pergi, apa lagi sengaja untuk membenci, Aku tak mungkin pindah dan mengundurkan diri, jika santun katanya selalu menjadikan bait-bait syair untukku. 

Sang bayu, dan hembusan angin lalu. Jika kau terpa wajah ini dengan sejukmu. Basuhlah aku, menjadi jiwa kembali dalam rengkuhan restu-NYA, yang diam bersahaja, menanti aksara terakhir takdir-NYA, karena aku hanya butiran debu yang hilang kala angin kencang membawanya. Yang tersisih kala fatamorgana telah kembali melukisnya. Dan senja telah berhenti menyembunyikannya.

Jumat, 13 Juli 2012

Kisah menjadi butiran indah


Aku dalam tarian rencana. Seolah bernyanyi dalam sebuah telaga.

Dulu aku sempat meminta pada bulan. Biarkan bayangmu yang menyinariku meski kau tak hadirkan cahayamu. Sempat juga aku berfatwa pada bintang, ijinkan engkau menjadi saksi pada malam malam penantian kami.
Pernah pula aku sampaikan pada angin malam, tentang sebuah rencana indah. Dibangunnya sebuah istana suci yang berpenghuni sepasang merpati.

Sampai fajar tak lagi menyapa melalui jendela. sampai embun tak mendapatkan rumput hijaunya untuk menitipkan butir beningnya. Sampai asa itu pergi menghilang dari pemaknaan diri.

Kini yang tersisakan hanya butir-butir airmata hangat yang terbiaskan dari celah cahaya mentari dari resahnya sebuah hati.

Maafkan aku, telah menjerit di atas sepimu, menikam diri di atas egomu. Yakinkan kau indah, masih menjadi butiran indah dari beningnya kisah.

RESTUKU UNTUKMU SAHABAT DAN KEKASIHKU

Semalam kau lihat wajahku pucat. Tak ada bias rona merah di wajahku. Kau tau mengapa??
banyak kalimat tanya yang sengaja menemani sendiriku.

Tentang kamu, siang itu dan malam ini. Wajah itu tak lagi biasa, dia bersemu saat beradu pandang denganku. 
Dia sahabatku, dia tangisan dalam pungguku. Aku kain bagi dia dan dia sapu tangan untukku. Kusangkau dia aliran darah dan aku bilik nadi aourtanya.

Mengapa ??
Begitu indahkah dia. Apakah seperti butiran mutiara dari dasar samudra yang biasa kau mengumpamakannya.

Sadarku,
Jika mutiara itu telah kau temukan. Ambillah dia, lepaskan dari cangkang dan dari dasaran samudera membentang. Rangkailah dalam tasbih suci. 

Jangan kau lihat air mata ini. Abaikan isak tangis yang kusuarakan. Biarkan aku bersembunyi pada dahan diam, dan rimbunnya dedaunan pohon tumbang.

Kau adalah anugerahnya, Bahagiamu adalah dia. Bahagianya adalah kamu. Dayunglah samudra dengannya, arungi bahteranya. Restuku untukmu, sahabat dan kekasihku.

Kisah itu tak akan tersesali


Persembahan mahkota dari beningnya mutiara
Yang pernah kujanjikan dulu
Sewaktu namamu terlukis di kalbu ku...cinta
Meski hanya kisah yang terengguk semu

Terpahami ribuan kali mengapa rinai selalu menggantung di punggung awan
Pada selembar kertas dan secoret tinta aku tertawan
Hingar dalam taburan kerinduan 
Pada rasa yang telah alpa diciptakan

Meski langit tak terbuka,
Meski layar telah lelah menutupnya
Kadang masih kurindukan gelaknya
Di antara kesedihan dan airmata

Ranting itu telah menusuk relung hati
Dahan pun lelah menyangga dedaunan
Menanti hangatnya cahaya di tenggara
Menanti cerita tentang hilir mudiknya satu rasa

Dimana letaknya, entahlah..
Mungkin di sebuah keajaiban dalam sebuah penantian
Atau mungkin nyanyian dalam cerita kesiaan

Kisah yang tak pernah tersesali. 
Semoga kisah itu indah seindah embun merindu bidadari

telah terpasung

Hidup bukan belaian,
Hanya sebentuk rasa yang ditinggalkan
Namun,


Kekuatan itu telah membangunkan ku
Menepis rindu
Yang tak pernah tau

Yang telah memasung cinta,
Dan aku membuatku bernafas tersengal

AJARKAN AKU SESUATU


Ajarkan aku membaca kerlip bintang

Sebab kulihat binar matamu terang

Ajarkan aku memeluk rembulan

Sebab hangatmu damaikan kerinduan

CINTA



Bila memang hitam awanmu
Bila kelam telah membakar langitku
Maafkan kami
Cinta khilaf ini

Berapa kali aku harus mengulang?
Rasa ini tak pernah berbilang
Bukan hanya bersalah padaMU
Tapi padanya...jiwa yang tak pernah berkata

Tuhan...
Izinkan kami bernafas
Dalam nadir yang Kau ciptakan 
Izinkan aku kecewa
Agar aku mampu berjanji untuk mengakhiri

Demi senja, demi lingkar sabit diangkasa
Aku cinta
Aku mencintainya
Izinkan aku bertemu dia
Sekali saja
Hanya sekali
Agar nanti 
Jika mati
Kami telah menjalani
Rasa yang penah di mengerti.

JIKA SYAIRKU ADALAH MENTARI


Jangan berhenti
Jangan hentikan jalan yang kau lalui disini
Cinta dan sahabat adalah hati
Itu alasan para pemimpi

Syair untuk mereka adalah mentari
Yang enggan sembunyi mesti senja telah mngamit diri

Lelaplah engkau rinduku
Bahagiamu tetesan bening binarmu.

PENGAKUAN ATAS CINTA SEBENARNYA


Tak sama dan tak pasti
Kapan awalku menikmati ini
Merasa damai
Diselubuk nurani
Saat waktu berjanji
Mengizinkan aku berdua dengan-NYA
Hanya berdua
Saat beberapa pasang mata
Mengucurkan deras air mata
Dan berlalu ...
Tak jelas, masih tak bisa
Apa maknanya

Kemudian..
Biarkan TUHAN yang menentukan nadirnya

Pengakuan atas cinta
Pernah mencinta dan menyesalinya
Dengarkan atau hembuskan dan tinggalkan
Telah ihklas semuanya

Engkau keindahanku
Meski hadirmu tak seindah mau ku
Rinduku bukan ala canda pada kata
Namun...
Tiap tetes gerimis dan air mata
Kujelma menjadi butiran doa
Untukmu nanti
Pada bahagiamu di kemudian hari

Esok lebih baik 
Semoga fajar tak lelah menggoreskan cinta-NYA
dan aku...
Siap pergi, siap berlalu kembali...

I said to you my heart

Entah berapa bintang telah menemaniku dalam malam, dalam gulitanya yang teramat pekat. Aku tak menyadarinya, ikrar itu tiba-tiba terlepas dari setia. Aku dan kamu begitu mencintai, kepada angin kita telah menyampaikan salam. Kepada embun kita telah mengukir kerinduan. Samar-samar namun teringang kembali. Mendesahkan nama dan mengeja kata dalam sebutan aksara. Malam ini aku tak kuasa memejamkan mata, meski telah kudekap erat arah mimpi.

Kadang, ingin kurajut asa denganmu, kupintal mimpi seperti dulu, masa lalu. Tak ingkar jiwa ingin terbang menyusup di relung-relung hatimu. Bersua, berkata aku masih setia. Saat engkau masih terlelap dan aku masih diam terbukalah netra, terjaga. Menghentikan putaran waktu, putaran detik mendamba menit dan tiap putaran jam untuk satu-satunya berada dalam naungan asamu, selamanya...

Harap itu kerap kupinjamkan pada kunang-kunang yang kehilangan terang. Kerap pula kupanjatkan di tengah keheningan malam permalam. Meskipun rasa telah terikat salah, namun kekal hati tak akan lelah. Cinta itu telah terukir indah, telah tertanam di tanah sanubari, lalu menjelma menjadi melati putih dengan keharuman yang menyeruak di ruang sanubari. Datanglah kau bersama embun, kemudian beriringan bersanding dengan fajar dari timur. Membelai wajah, mengecup lembut helai perhelai rambutku. Lalu buai rindu dari ucapan sayang atas rasa syukur

Aku paham pada setiap pergantian, rotasi berputar terus setiap jengkal waktu. Aku paham...
Namun tak resah dalam pelukan semu dan rengkuhan bias nanar. Kedamainalah, ketulusan pun keihklasan santun untuk menerima.

Ini menyakitkan, sebab kisah kita tak bertemu pada akhirnya. Namun masihlah engkau pada satu percaya, masih ada senyum disana, masih lugu rendu mengalun merdu, sebagaimana engkaulah bahagiaku. Aku masih mampu...

Tataplah, aku dari ujung sana. Dengar tembang-tembang serak dari suaraku, yang ingin bergetar pada nafas dan nadimu. Lihatlah, gerimis senja yang ada di ujung mata menjatuhkan butir-butir cinta dari kelopak hingga mengalir bening, di pipi berona, merah dan basah. Kekuatan itu akan datang, membawaku dalam rengkuh pelukan yang tak bisa kuemban, entah terbang bersama musyafir jiwa. Dan tinggal aku, mencari rasa percaya, yang tak pernah kutemukan di peraduan lain, selain denganmu...kekasihku...

Sebiru nuansa hatiku.

Rabu, 11 Juli 2012

Kejujuran ku pada bisikan cinta


Percayalah...
Ini bukan akhir syair yang pernah kubacakan
Dari celah dedaunan,
Pada sayup suara tawa yang pernah terdengar
Ada titipan kerinduan

Suara itu memanggilku,
Membisikkan nyanyian dari guratan-guratan pilu.
Aku tak akan berkemas, juga tak meninggalkan bekas
Hanya sedikit bergeser dari sebuah kisah

Syairku adalah kisah-kisah malam yang diam,
Tangis, tawa dan genggaman jemari adalah keheingan
Entah...kapan, aku mampu melepas rintik
Sembunyi dalam curah hujan yang terbiasa berbisik

Untuk tentram yang pernah kau bagi,
Pada tawar yang pernah terukir di sanubari
Melalui pelukan aksara
Izinkan aku berkata...

Terima kasih cinta pada pertemuan dan kepulangan kemarin.

** malam, begitu lelah untuk bersandar, dalam tangisan sunyi.

HILANG ...



Dengarkan apa yang hilang, adakah yang tiba-tiba musnah. 
Sejenak suara itu lengang, sejenak membekas. Mengisi relung hati yang telah terdiam sepi.
Telah kusiakan rasa yang singgah, telah kupatahkan jiwa yang lelah. Luruhku memudar, seiring berhentinya kabut yang berputar. 

Kusangka kau ada, tetap tersenyum layaknya itu. Tak kupejamkan sejenak mata ini, 
Hati ini masih tak bisa percaya, bahwa kau telah hilang disana. Tak terjelaskan apa angin telah alpa menyampaikan pesan, 
apa Rindu masih tersimpan. 

Tiadamu tak terpahami, untuk mampu berdiri menikmati sendiri, menjalani...

Ternyata harus kubiarkan hening ini tak bergeming. Melelapkan mata, melepaskan asa. Aku harus tirakat memaknai rindu.
Pada malam, pada kerlip gemintang. JUga ketika sentuh lembut ilalang menyembunyikan. Langkah kaki harus berayun pasti. 
Dan gerimis indah menyatu dengan bumi. 

Mendengar sendu nyanyian surga, mencoba menikmati heningku sendiri, memeluk batin ini.

Jumat, 06 Juli 2012

Coretan Intuisi


Kupetik beberapa bait tulisan dari Coretan Intuisi, yang aku suka.


Aku tidak akan menjanjikan apapun dalam sumpah keramatnya cinta,
Ketika kesadaran hati berupaya melembutkan hasrat yang kian semarak mengelilingi nurani. Lantas, kesederhanaanku adalah simbol simbol yang terpasak dalam hati oleh moyang ketika sebelum kelahiran.

Hanya saja hatiku yang mengatakan tanpa terwakili oleh sang lidah bahwa kedua tangan dan kakiku sememangnya tulang yang rawan pada keretakan.

Namun tidak pada hatiku seumpama yang pernah kau saksikan ketika hujaman panah berwajah ramah hendak menusuk-nusuk pusat ulu hati.

Dan karena tersenyumku adalah tujuan mengapa anugrah itu telah menyatu pada kehidupan.

Hanya hati saja yang mampu kau tabur benih ketulusan serta kesyukuran atas airmata dalam tahta keikhlasan.

Jiwaku kian berseru menuju arahmu tanpa memperdulh kejamnya kisaran waktu dan pedihnya ranjau jarak yang terbentang seolah siap menjunamkanku pada tebing jurang yang teramat dalam.

Lantas, tingginya harapanku padamu seolah keajaiban jembatan penyebrangan melangkah ke taman hatimu yang penuh dengan ketenangan.

**aku tak bisa berkata, bagaimana cinta itu, aku hanya mengerti dan merasakannya. Seperti kesederhaannnya utnuk memaknainya. 

Kamis, 05 Juli 2012

PENAKU TERDIAM


Penaku terdiam,
Pada goresan kata terakhir sebuah cerita

Penaku mati,
Pada tarian jemari aksaraku terhenti

Aku mencari mata, dimana ada pacaran surga disana
Aku juga mencari makna, disetiap kata di punggung asa

Jika nanti ada satu saja pesan tersimpan
Akan kugugurkan keringnya dedaunan
Hingga aku siap melewati jejak kaki
Yang pernah tertimbun benci di relung hati

Aku tak kan kalah, pun menyerah
Meski asamu hilang, rindumu resah

Sungguh aku rindu jiwa resahmu





Rasaku menjulur susuri lubang ari

Terselip pesan kerinduan pada muara hati

Desir-desir rindu diam menyisir
Merajuk kalbu pada titipan syair

Sungguh aku rindu jiwa resahmu
Untuk kembali menembus mimpi pada ladang biru

Aksaraku kutaburkan bulir-bulir rindu

BERCUMBU SEPI, TUBUH SENDU


Bercumbu sepi
Berpagut manja pada bibir indah sang rembulan
Terjerat niat pada dada bidang malam
Terlipat, terdekap di kesunyian

Semalam,
Diam hempaskan raga yang tersekap
Lamunan menjerat hasrat tersirat
Pada selembar memory tersingkap

Di sela reranting bunga kuning
Berujar pada dedaunan kering
Aku akan bersahabat pada dewi malam
Yang acap kali rindu menitip salam

Tak akan kusunting gugusan bintang
Karena ribuan kunang melayang-layang
Menjadikan jiwa kelam ku akan terang
Hilangkan ragu pada sekawanan bimbang

Angin melunglai tubuhku 
Dirajah sendu...

Kisahku, Februari awalku...

Sadar, kesadaran yang tak berbatas. Pada ujung waktu yang tak berawal, akhirnya ini pengakhirannya. Dengan rasa ikhlas, pada rentang tangan dalam kebekuan...terima pada kenyataan. Sedikitpun cinta itu tak berbeban,  bisa dinamakan tak bertuan. Karena rasa itu tak pernah terkatakan. Namun hati enggan berdusta tentang derita kepergian.

Biarkan sunyi menyelinap diam,  diantara curah yang deras  di balik pintu yang sedikit terbuka. Aku yang tak bertirai, kehilangan  yang hilang namun bukan cinta yang kau rasa.

Tak ada yang indah seindah bulan ini, Februari. Mengingatmu dengan segenap bulir kenangan yang tersisa. Juga terising detik per detik saja, terekan dalam ingatan, masa. Untukmu..yang terdalam mengalir dalam sebuah kisah...

***
Jumpamu, di antara sapa. Di dalam ruang antara riuhnya tembang dan nyanyian. Dan silaunya sinar, aku menemukan di balik halaman. Kau dan punggung itu..Kau yang bertuan dalam percakapan diam, diam...dan bungkam. Pada aksara ku jumpa, pada sapa terlanjutkan dengan tawa. Mulai terdengar suara, riuh manja.

Seperti mendengarmu , bisikan-bisikan itu pesan atau nyanyian surga yang melega. Kau cerita yang terlahir  dengan ke sia-siaan. 
“Kau baca aksaraku?” tanyamu kala itu
“Yang mana?” jawabku
“Semua, mungkin dari ketika saat dingin menghampiriku”. Jawabmu.
Februari, ku dapatkan beberapa syair itu. Yang bisa kau ambil dari sekelumit catatan usangmu. Dan saat kau, berikan ini untukku ...(kau ingat ini)

dan damailah hatimu 
arungi laut kehidupan
dan kaulah nakhodanya,..

ku berikan satu rahasia padamu 
keahlian terakhir para nakhoda 
kerelaan tuk memberikan hidupnya pada lautan
adalah karena cinta...
salam

sampai jumpa disamudraku...

lagi...Februari itu adalah bulanku.
“Tak kau baca 21 februari beberapa jam yang lalu..” pintamu, tentang hujan,  saat kau pulang menembus hujan. Rona merah jambu kala itu.


Hingga satu yang masih menjadi pertanyaan, dan hampir terlupa bahwa itu membutuhkan jawab...”Panggilan apa yang terbaik dan kau suka untukmu..?”  ..kembali terdiam

“dan bila pun malam,  jika kau rindu, cukup bisik selembutnya angin,....dari aksara yang kau suka,...”

aku ingin kamu senyum,...
aku ingin kamu bahagia
aku ingin kamu kuat
karena inilah bagian dari hidup 
jangan pernah bertanya kenapa berat deritamu
tapi kau sendiri pasti yakin, bahwa Dia tak menguji manusia diluar batas kemampuannya,...

Kisah ini biasa, namun hadirnya membuat apa yang terbaca menjadi luar biasa. Sedemikian indah dan sederhana itulah aku memaknainya.

Laluku, karena mencintaimu, laluku pada anugerah Tuhan yang mesnyisakan hembus nafasku untuk membaca semua aksaramu. Sepanjang nafas itu menuju rentangan waktu. Kelak akan kumaknai rasa ini, menjadi anugerah indah yang sesaat pernah termiliki.

Menyerah, pasrah, dalam kesiaan  rasa yang lelah. 

“Jika saja, rasa ini yang diharuskan untuk undur diri. Tak kan kuingkari. Tak kan terkejar, sebab dahan-dahan itu telah tumbang, dan cabang rindang telah bersaksi bahwa...dia kisahku.

Rabu, 04 Juli 2012

kuambil pesan dari catatan tentang february 2012

kau buntal semua syair ku
kau kemas dan kau berikan
aku kira kau sedingin gunungan salju
di kutub utara
maksud, makna ku dan kemasan kirimanmu...

aku sangka kau seangkuh tembok berlin
ternyata praduga ku berlebih padamu...
kau hanya sama
jiwa sama yang punya lebih dalam
sebuah kata
...
aku suka.
 ****

tiada maksut tuk memuji,..
kuagungkan kerendahan hatimu,...

tiada maksud aku tersanjung
tapi memang itu yang harus dilakukan
merendah untuk salah yang dilakukan

****

20 november 2011

maka terjagalah bunga mawar,..
dengan duri yang menjaga kelopaknya,..
tersucikan harumnya,..

***

didepan,
hanya bisa memandang
memaksa tersenyum
terbalas
dan menghilang

seperti manatap
satu punggung, tanpa wajah
kekakuan
dan rasa bersalah

entah
kapan kekauan itu hilang,
padahal sapanya
ternantikan...

terbalas,
saat sakitnya mencoba terasakan
hmmm...
kuhilangkah ego, kurendahkan hatiku
untuk mengucap kata maaf,
menyuci jiwa dari rasa bersalah...

makasih ya...

***

kau tak menatap punggungku,..
tapi aku berdiri didepanmu,..

***
kau baca semua aksaraku?

yang mana

semua,..mungkin dari ketika aku mulai dingin padamu

***

15 februari, syair lama untukku..

***

SC

dan damailah hatimu
arungi laut kehidupan
dan kaulah nakhodanya,..

ku berikan satu rahasia padamu
keahlian terakhir para nakhoda
kerelaan tuk membrikan hidupnya pada lautan
adalah karena cinta...
salam
sampai jumpa disamudraku...

***

17 februari, di catatan 4me

***

21 februari, hujan untukku, pulang menembus hujan

***

21 februari untukku juga amarant merah

***

panggilan apa yang terbaik dan kau suka untukmu?

***

22 februari, kamu yang memberi nomor terlebih dahulu

***

25 februari

***

dan bila pun malam, jika kau rindu, cukup bisik selembutnya angin,....dari aksara yang kau suka,...

***

aku ingin kamu senyum,...
aku ingin kamu bahagia
aku ingin kamu kuat
karena inilah bagian dari hidup
jangan pernah bertanya kenapa berat deritamu
tapi kau sendiri pasti yakin, bahwa Dia tak menguji manusia diluar batas kemampuannya,...

MASIH...


Nanti tiara itu akan kuanegerahkan, 
Yang dulu pernah ku ikrarkan padamu,
Terukir jelas dalam guratan sanubariku.

Saat malam-malam sebelum semuanya hilang,
Pada syair yang kureguk dalam kisah semu.
Saat dulu kau tanyakan padaku
Mengapa kau begitu merindu??

Aku memilihmu, menjadikan biasmu adalah mimpiku,
Untuk sedetik harap hadir di kalbumu.

Saat harus kumaknai jatuhnya rintik gerimis,
Yang jatuh membasahi bumi. 
Saat harus memahami, bagaimana awan hitam
Menggantungkan butiran hujan...

Begitulah, masih merasa kesepian..
Bahwa melati tak akan pergi meninggalkan seberbaknya
Menaburkan benihnya di atas tunai seminya.

Mungkin rentang waktu ini bukan untuk kita. 
Mungkin pula tak bisa teraba, kapan mentari akan menggulung senja
Merangaskan ranting-ranting kering, menjadi selimut pada danau kering
Menggantikan daun-daun kering menjadi butiran embun

Pada balik bimbang, kuceritakan tentang beningnya rasa mengalir.
Pada rasa yang entah, bertahan dalam diam, memaknai sendiri.
Hanya kamulah yang mampu memahami, isi dibalik syair ini.
Bahkan surya itu tak lagi bisa membayangi.

Dalam lelah, simphony ini ku isi,
Aku tak mau kalah, pasrah, meski separuh jiwa lelah, rinduku lemah,
Namun sepertiga hati masih bergelayut manja di bahu ini.
Masih menanti...menanti di lubuk sanubari.

Selasa, 03 Juli 2012

Padanya yang akan selalu menjaga rasa.


Jika ini catatan akhirku, sebelum temaram bulan tersamarkan. Ku serukan salam terakhir padamu, sebelum riak gelombang mengapusnya. Kau yang pernah menjadi sekawanan camar yang menjadi hiasan indah di sebentang samudra, bersahutan dalam nyanyian an kidung sukma.

Senja, telah buyar, kini tinggal serpihan-serpihan kecil yang terbuang. Yang tak satupun enggan kukumpulkan. Tersingkap di barisan kalimat, yang kuberi nama puisi...

Aku akan menyelesaikan seribu syair yang akan mmenjadi pertanda, bahwa aku tak akan sia-sia. Aku akan lesatkan syair  rindu dan menyisipkan kalimat tabah dalam setiap dengung takdirku.

Padamu yang telah mengajarkan mimpi saat terpejam, pada peraduanku setiap malam. Bahwa hidup ini akan terus berjalan , sayang. Saatnya pergi...mengakhiri nyanyian hati. Mengakhir kata yang pernah menjadi rayuan saat diperaduan. Biarkan langkah mu tak terhentikan sampai di setiap mili nanti kau akan menemukan, aku  akan jalanmu.

Padanya yang akan selalu menjaga rasa.

aku akan membuatmu tersenyum meski tanpa aku


Dan aku,  aku yang telah menghunuskan sebilah pisau di balik sayapnya. Telah menikamnya tepat di jantung hatinya. Yahh...aku telah membunuh diriku sendiri. Dengan mengabaikan hati, tak merasakan sejuk embun yang diciptakan. Aku dusta pada hati, membiarkan pergi berlalu, meninggalkan bayangan semu. Aku tak pernah tahu...

Selama ini senyum itu selalu menapaki jejak kecil yang  ditinggalkan debu.  Selama ini sabarnya menggengam rahasia untuk terihat tetap bahagia, dengan senyum yang masih tak mampu ditinggalkannya.

Malam ini bulan tak lagi menemani, hanya sendiri menikmati kerlip kejora. Kemana dia?
Tangis malam, hadirkan sebuah kisah. Kemana  perginya bait aksara yang pernah kuciptakan untuknya. Dengan sajak-sajak kecil itu, tentang rindu. Hanya itu, tak cukup bagiku, kau yang telah melukiskan bias senja  pada barisan tawa.  Kau juga yang telah memberi warna pada bentangan cakrawala.

Maafkanlah aku..

Padanya jendela nyata terbuka, hadirku telah tiada, diujung pena, atau di sumber suara yang pernah kutinggalkan untukmu. Jeda itu tak mungkin menjadi tanda koma, semua akan berlalu. Jatuh pada rasa yang terluka, dan umbar tawa perihnya. Akan kuhapus buramnya, dengan sentuh air suci, bening. Merasuk dan mendalam di sanubari.

Hadirku kembali ingin memberimu kabar bahagia, bahwa meski  tanpa aku akan membantumu tersenyum .

Keajaibanku


Denganmu keajaiban itu.  Bekuku saat malam per malam tanpamu. Bayang itu menyelinap merangsuk di sela tidurmu. Membelai menyanyikan kidung mimpi. Sebab kau masih sebuah mimpi, yang tak pasti.

Demi , dengarkan serapahku yang kulantunkan melalui goresan pena ini. Asa ini mengalun sepi  yang mampu memecahkan melodi. Kau yang membiaskan malam per malam dengan taburan kunang. Engkau yang telah menyemai benih embun di sela rerumputan, pada bisikan masa yang masih samar. 

Demi, ingin ku benamkan luluh rinduku pada pelukanmu. Betapa sangat ingin kuhujamkan kalimat cinta pada aksaraku, saat mengiringi desir jantungku yang masih berdetak menyebut kalimat ...

Aku cinta padamu

Maaf ragaku kutinggalkan di sini...sendiri.


Senja itu mulai memerah saat kujatuhkan mimpi disepanjang langkah.
Sepi...sendiri

Sayangku,
Masih ingatkah sentuhan itu. Diujung rona indah kau tersenyum jelas. Disepanjang langkah tak ada kata pasrah pun tanpa menyerah. Namun malam telah menghadirkan rembulan untuk menyegerakan aku pulang...

Sayangku,
Setelah ingkar, kau dipertemukan. Pada kerinduan yang amat sangat perih,dan kemudian.. ilalang menyembunyikkan ranting kering membakarnya membara dan menyala

Lalu ketika murka, kau datang dan menata kembali cermin retak. Hening, aku masih tak menyadarinya. Pula kau telah membuat ku lupa, pada rasa dahaga. Pada rasa lelahnya memaknai semua.

Namun sayang, tak kulihat kembali cinta itu menuai nyata, sebab luruh pula hatiku, akan rasa yang sama, nun jauh disana. Hingga fatamorgana membiasakan di sepanjang kisah, di sepanjang cerita, pada penantian endingnya.

Dan..

Sayang...engkaupun terbangun, mendapati ragaku telah berubah menjadi sukma.
Maaf ragaku kutinggalkan di sini...sendiri.