Jumat, 30 Mei 2014

SELAMAT TINGGAL

kau ingat puisi yang pernah kita agungkan
pada derasnya hujan disenja itu
sebelum kita pamit untuk meninggalkan keteduhan
kemudian menyertainya menjadi doa pengabulan

"akhirnya kita sering menangis kan.." katamu berujar sembilu
bukankah akhirnya kesedihan ini akan membawa kita kenikmat doa-Nya.

sikapmu tenang seiring dengan menghadapi luka dengan caranya

setiap kali aku menyapa luka, kau beri setenang jawaban di atas luka
seperti angin menyentuhku, merangsek pada lubang poriku
Kau tau?

aku begitu ingin memahami makna yang terkadung pada bait puisimu terakhir kali
ketika sebelum tangan itu terulur melambai

SALAM UNTUKMU PRIAKU

salam untukmu, pria yang terkubur oleh sunyi
pada pertengahan purnama
sepasang kata bersayap terbang mengisi
kota pos kita

ada ucapan harap yang menyeret-nyeret dilema
seperti penantian musim hujan yang kerap mengguyur halaman rumah kita
membasahi rumput dan pagar bambu kita

menulis sebuah puisi,
mereka membedah makna yang terkandung lama rahimnya
siapa itu? aku? atau apa makna tulisan itu?
kemudian pipi mereka merona

salam untukmu, keberadaan pria yang bergumul dengan sepi
pada rahasia yang tak sengaja kutulis kecuali dirinya.

PEREMPUAN HENING


dia masih perempuan yang hening
begitu rapi memijaki ilalang yang basah oleh hujan
dia masih sangat terbaca,
oleh karangan bernarasinya

Maaf, aku tak bisa menerka ini kejujuran atau sebuah kebohongan,
ujar kekasihnya...

Melihatnya,
seperti melugaskan kalimat-kalimat yang tak tertulis,
sedangkan dengan matanya engkau bisa memahami yang tertahan didesah nafasnya
yang tak tertulis oleh tangannya.

perlahan,
biarkan dia menyelinap meninggalkan kebijakan lembut yang begitu peka
dihatinya,
begitu istimewa
sampai suatu luka menjadi sembuh karena pemilik-NYA.

perempuan hening itu
tersesat kembali dalam doanya

BIAS YANG TAK SENGAJA DIUNTAINYA

mantra hujan, nampaknya masih tak rela untuk meninggalkan keteduhan
baginya seperti iringan keinginan yang disertai terkabulnya doa
pada ucapan buih kecil,
pada tetes bias yang tak sengaja di untainya
pada kuyup deras yang diguyur ketabahan

aku ingin menerbangkan,
menyusun sedemikian rapi menjadi kepulan doa yang membumbung tak berkesudahan
serupa takdir yang begitu misteri tak terkalahkan oleh siapapun, kecuali empunya catatan-Nya

APA YANG TERJADI DENGAN HATIMU? PATAHKAH?

Gerimis kali ini datang dengan begitu sopan?
"Apa yang terjadi dengan hatimu? patahkah?..

Aku tak langsung menjawab,
mencarimu jauh kedasar hatiku.
"Tak akan pernah menjadi hancur, atau tak kan pernah menjadi serpihan kecil
akan tetap berada di tempatnya, menjadi awal dan akhirnya'
meski perjalanan kadang tak segampang tulisan, dia tak hilang, sesungguhnya dia baik-baik saja
dan akan selalu begitu"

aku dan sedikit kemampuanku yang enggan menulis

Kamis, 29 Mei 2014

ELEGI KERINDUA

kursi taman,
dan sebuah lampu redup disampingnya telah terlalu renta

sebuah ukiran nama tertera
pria dan perempuan sepi bergantian mengutarakan makna

aku datang menulisnya, kekasihku..ujarnya sendiri. kemudian pergi

aku datang membacanya kekasihku, jawab pasanganya dikemudian hari

seterusnya. mereka sama sama tak melihat berapa puluh lingkar purnama dilewatinya
sampai..

satu musim, membiarkan perempuan itu duduk sendiri di sebuah taman kering..

aku tak lelah menuliskan sisa nama yang kukenali, itu seperti sebuah permintaan maaf kepadanya, itu seperti meraup jutaan gemintang untuk kuumtai menjadi jubah ketabahan
ohh...biar tubuhku kaku, biar jantung menciut dan tulangku repih menjadi debu, dan lahat menanti abadiku. aku tetap disini, kursi taman dan tempat kelahiran sebuah puisi tak akan kutanggalkan

disisi kota lain
pria itu juga demikian, mati di keabadian sebuah puisi

MENINGGALKANMU

dan aku kini hanya sepenggal doa yang tak teramini
jauh dari kehalusan yang akan membawamu kembali
aku hanya sebuah luka yang menganga tak pernah mengering
pada suatu perih dari keberadaanmu

singgah dan perjumpaan mengajariku banyak hal
mengurai tiap bait kesepian
untuk kulisankan pada tutur yang kumaknai sendiri
hening juga membawa kejujuran terbungkus jubah keterpak
membawamu untuk terbuka

"pelan-pelan saja," pintaku menyeka air mata

perpisahan mungkin adalah perjalanan yang tak pernah teringini,
tapi kita akan mencoba menikmati perih,
membaca karma dari suatu kehilangan
tapi jangan menyerahkan semua pada pemilik-Nya
ada harapan yang kemarin tak termakbub

meninggalkanmu mungkin suatu kebaikan, meski bukan kebajikan
menyerahkan segalanya
menentukan dari apa yang pernah kusembunyikan
semoga kau mampu menerima
merangkai tiap peristiwa seperti apa yang ditasbihkan
tapi yakin bukan untuk Dia ...

"dari segala maaf, kau telah membaca catatan terakhirku"