Minggu, 29 Desember 2013

BOLEH JUJUR?

boleh jujur,

kamu
adalah perlawanan
teristimewa
tanpa
diminta

MENCARI PUISI

Tuhan, kau tau
semalaman aku mencari puisi yang biasa kubaca sebelum mulai bermimpi
kuaduk isi laci meja rias, mungkin disana dia tinggalkan

Ah, ternyata tak ada
kemana dan dimana, Tuhan?

Sekali lagi kuaduk isi laci,
padahal disitu dia biasa sembunyikan kata-kata indah
sebelum dia melenggang pulang
masih tak ada, hanya tersisa lembar puisi usang

Telah kurapalkan semua yang menjadi lakumu
kusimpan selekat detak jantung
Ah, Tuhan belum mendengarku kali ini
Debatkan para pujangga
apa makna sebuah cinta
membosankan
atau semestinyalah merah sewarna cinta

Malam,
di tepi ranjang paling menderita
langkahku memutar
keluar ruang tempat kami berpesta

Tuhan, aku menemukannya! teriakku
ternyata Dia belum menghukum rinduku

"Kau adalah bidak didadaku
tempat meletakkan asmara juga amarah
Kau sebuah tungku
dari petik abadi satu nyala bertungku yang tersebut rindu
Untukmu, satu
aku punya cinta melebihi usia matahari, camkan itu"


terima kasih, kau dan Tuhan.

KITA HITAM PUTIH

kita itu hitam putih
tak berwarna
dua buah pensil saling bersilang
bisu
diam
tapi berfiksi, bersetubuh riang

PANTAI KELIMA

kau tau, 
kita seperti pantai ke lima yang kita kunjungi seharian ini
melelahkan tapi indah

TERNYATA

ternyata..
 kita terlalu letih untuk dikhianati

janji 
seperti tumpukan mimpi yang berilusi

AKHIR YANG INDAH


akhir yang indah
kita punya indah yang terselip dibawah ranjang kita
secangkir mocca sederhana kita nikmati bergantian
bekas bibir kita bersentuhan
bahwa aku ingin menjadi bersama sampai renta

resah rindu bertumpu den
kadang rindu bersenandung pada bibir ranum merah
kadang saat lantang suara siraman hujan siang malam
kau berkelakar bahwa hanya pelukku yang sanggup menghangatkanmu
ohh...

kau, aku dan secangkir mocca sederhana
bukan hanya mata-mata kita
bahwa seribu susunan kata rancumu
yang membuatku jatuhkan rindu
gan seribu aktifitas

HUJAN, PAGI DAN BERLARI...

hujan, senja, secangkir mocca
adalah pemandang tempo dulu
sofa kuno menatap pintu tempat berbincang cinta
puisi berlirik, denganmu

hujan, malam, secangkir mocca
musik sepi mengalun tak bersuara
diam, terbenam

hujan,pagi, masih secangkir mocca
musik sepi masih mengalun tak bersuara
tapi berbeda
aku berbicara tentang hampa, tanpa dia,
berkisah harapan yang kini melingkar di pergelangan kakiku

hujan, pagi
berlari....

Jumat, 27 Desember 2013

KITA SENYAWA



Ada rengkuh degupku lebih hangat hari ini
di bawah hujan di gegap nada riuh air di jendela

Menatapmu dalam pias rintik tak beratur,
menggumuli abstrak lamunku

kepadamu pemilik jarak rekatkan lekat tatapku,
kedalam kolam matanya yang bulan
sebening pengharapan
sehalus angin meriap helai keningmu

Lagi.. andai cemas mengekal
diujung sepi mata kabutmu
berlayarlah sejenak menyusuri
hulu curam mataku yang elang
agar kubawa terbang memapah
binar bersayap pelangi
di biru langit penuh janji

sudahlah, aku tak terlalu bijak untuk ini
bukan kah kita berdua mengagumi luka dari sebuah cinta
kemudian kita sendiri yang merangkainya
berjalan tertatih, jatuh berdiri

meski, sebuah ketika kita mengutuki malam
menanyakan pada kesendirian

"aku tak sanggup untuk melepaskan ini?" bisikku
dan kau tersenyum menimpali

aku adalah tunas pertama yang menumbuhkanmu
diatas ladang kering, di belah tandus hati dan
di kerontang nyalimu
dan kita serahkan semua pada rekat nadi


***) puisi kami lahir lagi
suma feat mahadiba

RISALAH DUA HATI

Aku tak akan mampu menghitung detik
pada jumlah hari untuk menemuimu
mungkin tak sejumlah pias
tetes gerimis di lekuk bulu matamu
tapi mungkin sepenuh ketabahan
kereta terakhir untuk mengiringi
kepulangan dan menyimpan
pekat sunyi di kaca jendela berkabut

Kuikuti tiap kelebat sepi
dari deru perih perjalanan
untuk sekisah pertemuan
di getar senyummu Jelas,
akan terus ku-usung kisah manis bilah
dagumu di rebah hela napasku
dalam geliat puisiku menyusup
rengkuhmu

Biarkan kita menikmati pejam tak terhingga

aku ingin pulang
dimana kita pernah bicara tentang terbang
langit dan bulan
kesebuah tempat dimana aku bisa menjadi bersamamu
untuk sekedar duduk beRpegangan tangan

meneriakkan sepi mengulang kenangan
pertemuan dan awal mengumpulkan perasaan

aku ingin pulang, pada satu dekapan
dan kita akan berkecupan.
bertukar aroma bibir yang tersimpan
di antara mimpi semalaman.
atau sekedar berpandang-pandangan
dan bertukar senyuman.
kemudian saling berpelukan di antara bantal
yang berserakan.
setiap hari. setiap pagi.

kamu mau?


**) senyawa kita suma feat mahadiba

PUISI SUMA

Mengingatmu kembali, setelah sekian lama aku frustasi membaca puisiku sendiri

Perempuan bermata bulan
iya, benar aku menyebutmu begitu
tak seperti perempuan lainnya, kaupun sama sepertiku mencintai hujan, hujan yang menurutku adalah seribu mata kuas yang melukis jelas kelebat bayang dari sebalik puisi

Sepertinya kita sama, dalam memaknai denting lirih sepinya
begitu bersahaya
mendeburkan seberapa lengkap degup rindu harus disentuh

Apa yang harus kukatakan lagi
selain kau adalah mahligai puisiku

PEREMPUAN SEDANG ARGGGGHHHHH.....



perempuan dan suatu senja yang lengang
secangkir kopi panas yang tak disentuh
mengetuk jemari diatas meja
mengikuti nada yang samar terdengar

perempuan dan lamunan
menanti matahari turun, menjadi langit abu-abu

apa yang ada dihatinya
hampa!
menatap cerita cinta yang dulu
menunggu waktu yang membeku

arggghhhh....
teriaknya pada kursi kosong
meja-meja diam yang bungkam
menghardik pada pupus

arrggghhhhh...
sekali lagi, langit diam
atau sengaja meniadakan, rancu
huruf dan angka serasa lari dari pandangan

perempuan disudut ruang
berskenario tentang yang diingat
masih tersisa satu kenangan
seperti diteguk habis kopi yang pekat

lalu,
perempuan diam
sediam sebuah penjelasan

31 'desember akhir



tentang desember hari ke 31,
tentang 364 langkah hari sebelum hari ini
2013

bulan purnama
hujan dan pelangi
sampai puncak himalaya
menyeretku

pijar kembang api
mengepul ambyar keangkasa
seperti musnah semua

sekelumit rasa
mengalir tenang
tapi beriak panas
sekelumit isyarat
yang membuat cukup bermeditasi

tertatih
sedikit sedih
kemudian bahagia
berhasil mentas dari sebuah luka

hujan, pelangi, purnama dan puncak keangkuhan himayala
kenyataan yang pergi atas nama perenungan

sayang,
akhirnya datang
perayaan dan harapan berbaur
beresolusi apa yang paling baik tahun nanti?
semoga keberadaan kita lebih baik kedepan

sayang, sayang...apakah kau masih buatku?

GOMBAL YANG JUJUR



memandang wajah
degan mata terkatup letih
melihatmu
selimut tebal
memiliki peluk
..
tidur dan lelap
dari keabadian yang berujung

Kamis, 26 Desember 2013

LARUTKAN AMARAHMU



aku berseru diatas kertas-kertas surat yang kukirimkan kepada langit
siapa yang pertama menyapa di hari pertemuan
siapa pula yang membuat lesung garis dirona tawa tanpa diminta

larutkan marahmu
tenggelamkan ku

telahku torehkan tanda mata pada langkah diujung kisa
telah kutepikan lelah dalam jarak beratus kilo  jauhnya

lingkari doaku, aminkan hela nafasmu
mungkin kesadaran adalah detak yang mendekatkan sepermili  jarak

matamu aku berteduh
dari binar kesepian itu.

larutkan marahmu
habiskan egoku pada periukmu
h

SIAPA AKU?


siapa aku, Suma?

aku hanya perempuan kabut
yang tak pernah berhenti menulis tentang cinta

memapah habis kerinduan dengan tajam mata pena
disitulah gerimis kuibaratkan
dan hembus angin hilir berganti musim yang ditentukan

tak ada airmata yang berisak ketika bernuansa

sementara aku,
menyeretmu dari satu memoar
berkali-kali
yang telah kugenapi isi rahim dengan batas akhir di bulan ini

ternyata masih ada yang tak kuketahui
kau bataskan diterakhir abadi

MENCINTAI BULAN



bulan menyentuh
satu pesona rindu terjebak dan mengikat

aku kagum padanya
dia bukan keindahan gunung yang agung atau mena

cukup, dialah yang menampung semua
sedu sedan, tawa atau berjua bahagia
dialah yang mampu melukis mimpi ketika sepi
dan menorehkan rindu kala tertidur lelap

kita pernah mengutuk malam yang sunyi
dan berharap mimpi tak merangkul kita lagi
"sudah cukup! kita berdua cukup lelah untuk semua dusta, benar kan?"

seperti mencintai bulan
dirinya adalah kagum yang berbeda
dan kita berdua ada didunia sana

keharuan adalah penyatu
menggantung anggun untuk sebuah janji
yang belum pasti
ra yang mewah

KEPADA JARAK



kepada jarak
ada angin yang kutitipkan pada rindu
pada resah yang menyelimuti sakitku

aku adalah sebuah cinta yang dikandaskan
menganak sungai sampai menenggelamkan rindu

aku adalah sukma yang begitu mencintaimu
menyingkirkan keterbatasan mengalpakan sejenak
pada siapa batas akhirku?

kita adalah dua senja yang merona
yang hanya bisa mumbuat garis hening
kadang pula kita berdua saling pamer sepi pada malam
kadang pula cemburu berputar-putar saja diatas kepala kita

"sepertimu!" katamu malu,
waktu itu kita menjadi benar-benar bisu untuk mengungkapkan rindu

"Kau tau sebagaian isi puisiku tentangmu," katamu merayu

ahh...

kepada jarak
yang aku tau, puisi perpisahan mungkin akan menunggu
tapi ijinmu, biarkan sejenak waktuku yang merekam setiap detik
keadaanku, sebelum kita terbitkan cahaya mentari yang sama.

"HARGAILAH APA YANG KITA LAKUKAN"


sastra, tertulis dengan desah
peluh dan pelukan
sprei putih lusuh dan selimut bisu
tak banyak bicara meski mereka tau

malam-malam peluh
rindu antara dua dan satu

masih ingat, kita coba menulis puisi rancu diatas orgasme itu
indah bukan, tragis terkesan jumawa tapi romantis

ranjang mengalah
ranjang terpisah
melawan hati yang terpisah waktu
tapi waktu tak pernah memisahkan kita dari kulit telanjang
yang semakin syahdu

sastra tubuh, tertulis dengan desah
menukik membiasakan gemulai luruh kita saling mengingatkan
"hargailah apa yang kita lakukan,"

hujanlah pengaduan rindu dan cemburu
terakhir membiarkan kulitku tanpa selembar balutku

disini ranjang
dan aku masih terlalu jumawa pada orgasme sastra tubuh milikmu

AKU INGIN PULANG

aku ingin pulang
dimana kita pernah bicara tentang terbang
langit dan bulan
kesebuah tempat dimana aku bisa menjadi bersamamu
untuk sekedar duduk berpegangan tangan

meneriakkan sepi mengulang kenangan
pertemuan dan awal mengumpulkan perasaan

aku ingin pulang
ke dekapan

KETIKA HUJAN TURUN

ketika hujan turun
dan lantang puisi-puisinya terbaca
kata-kata tersemat didepan jendela
biasanya kata bebas menyusup kedalam kamar kita
tapi tidak dengan ini
hanya hening, lantas bungkam dan muram

hujan masih deras
kita masih berdua dengan pikiran masing-masing
tak ada sebait kalimatpun terumbar
hanyut bersama puisi yang tak bisa ditepiskan

hujan terakhir masih deras
berdua kita nanar merelakan kalimat
yang pelan tenggelam

Senin, 23 Desember 2013

SYAIR YANG MENGISYARATKAN ..KAU SAHABAT








duniaku kini,
keajaiban yang kurindukan
dia menjelma menjadi sebuah jalan kecil
yang melepaskan aku dari persimpangan keabu-abuan
aku punya mereka
aku punya banyak cerita
tak cukup melihatnya
hanya mengenalinya
bahkan kadang aku menunggunya
seperti janji kekasih datang malam ini

duniaku adalah sesuatu yang tak menakutkan
dia seperti sebuah taman
dengan warna warni bunga
aroma dan keteduhan
kadang juga sebuah permainan petasan
xixixix

begitulah sebagian kata yang kuungkap
keberadaannya, ada meski masih dalam lingkar kefanaan
namun aku melihat keelokannya
kini kau pilihanku, duniaku sabaha

taruhlah sebuah kalimat indah
pada sajak dan syair yang mengisyaratkan
kau sahabat.


*kadang ada keinginan untuk menjadi seperti yang kemarin, dan itu manusiawi.
Benar2 rindu yang lalu.)




Rabu, 18 Desember 2013

PEGANG AKU, PUANKU


Senyawa Aksara Mahadiba, SAS

Lalu membacanya seperti sebuah sabda bumi,
dan malam telah menyediakan serahim subur untuk pengaduan

Kisah itu dimulai dari satu malam
Dia menyimpan semangat kita yang enggan padam
Membiarkan kata-kata menjadi nada-nada indah meninabobokan
Gugusan aksara dan bintang bertabur di lembar langit yang semakin renta

“Kita di sana!” (tunjuk satu bintang yang jatuh tak sengaja).
Melihat bias merona dari selembut mata itu bernyawa. Mata yang begitu hidup.

Mencari awalan cerita untuk ditulis didalam sebuah kata.
Merebahkan dada pada keheningan dan mengantarku pada rasa percaya

"Engkau esok yang membawa kisah baru untuk diseru" jelasmu

"Kita tak kalah bukan? dan kau tak mengalah bukan?" kupastikan itu. Maaf kulontarkan saja kalimat itu, ketika aku melihat raganya mulai begitu lelah, dan kedua pelupuk matanya merona. Aku yang akan memapahmu ketika kau mulai pasrah, aku juga akan memberimu nafas ketika kau mulai kelelahan.
“Kau percaya, kita pun bisa menulis takdir kita sendiri, meski Dia yang mmemegang kendali? Kau tak meragukan keteguhan kita kan?” tanyaku  bertubi

Aku,.. aku telah terlanjur mengirimkan sajak pada semesta
Di satu ruang sepi yang menjadikanku alkisah, hanya itu hanya cinta.
Cinta buat kita adalah kisah romansa yang lahir dari tetesan air mata, kepedihan, luka, bahagia. Tak ayal kita kerap melontarkan pertanyaan-pertanyaan aneh, yang memancing kita beramarah, ber api. Tau yang kemudian terjadi? Pasti kau sudah menebaknya. “Cinta kita diuji lagi sayang?”

Aku jadikan untuk ruh impian pijakan senyum tak berjarak dari tatap yang sama kepada matahari

Bersandinglah sebelum puisi kusimpan dimataku, kuciumi aromanya lalu kuterbangkan impiannya
Biarkan satu persatu kepak-kepaknya mencapai mahligai langit berdenyut mengisi napasku

Aku mengerti bergandeng bersisi adalah senyum yang begitu roman kita kutip dari buku hati
"Boleh ku ucapkan puisi untuk matamu?" kau lembut menatapku
"Aku sudah ada didalamnya, sejak pertemuan pertama itu"
Kau rebah sekali lagi, bidang kita terengkuh.
“Telah begitu adil Tuhan mempertemukan dua luka yang saling percaya”, sambil mengecup keningmu

Berjelaga
Dan telah kuhalau butir debu berkali-kali di matamu
Khayalku sejelmamu
Pegang aku...puanku

*mereka meminangnya, memintanya dari kita. terima kasih

MENCOBA MENGINGATKANMU mr. b



:> apa aku harus kembali membacakan puisi yang kita tulis disebuah meja kayu
disamping mocca kesukaanmu yang mulai tak mengepul

Di lekat usai bertatap
aku menaruh riuh alun hati
sederas senyum tipis
di ranum makna tersaji
sesejuk layar daun matamu

:> bagaimana? kau ingat itu?,
sepenggal bait yang kau tanam di segenggam tanah tandus
menunggu menyemai,


bintang seribu bintang bertabur ingatan
ketika serangkum kisah bermukim di satu musim
ketika doa terjemahkan dari pejam hingga pijar diam
adalah daun-daun gugur dan segar kemudian
adalah berdiri terpaku pada bahu tempat bersandar

jalan sunyi adalah satu pilihan
detakmu adalah cinta kekuatan
senyum yang terbias
kagum dan menguatkan

:> bagaimana? kau ingat!
ini, sepenggal lagi untuk mengingat
betapa jujurnya puisimu

aku membiar
detak palung merambat
meliat lekat harum puisi
searoma mawar di rekah gulir jemarimu
malam bersapa bulan
bintang berlari rintik
merapat tak berjarak
menyusun titian kecil

matamu puisi
senyummu puisi
hidungmu puisi
bibirmu puisi
alis matamu puisi
bulu matamu puisi

bagaimana?
jika diammu juga puisi

:> ahh,
maka ku tak berharap kau menjadi insomnia.
pada penggalan puisi akhir kita


kuamini setiap laku bintang
pada ulas buai rengkuhan tangan
pada takdir yang mengamit lingkar pinggul sang hawa
pada sesunting catatan kisah berencana

jangan, jangan tinggalkan aku pada kesaksian

:> terima kasih pada carik kalimatmu hari ini

"Aku membutuhkanmu."

Aku memilih bait terakhir untuk kujadikan ikatan
"kita hanya lamunan berparas puisi.."

Seperti sebuah cincin yang terlanjur melingkar, erat dan kuat

Sepi untukku bukan kerapuhan yang setiap saat bisa mendermaku
Sepi hanya lagu yang tak sanggup kusyairkan

Kau tau apa yang membuat kita bersekat?

Angkuh, kita terlalu angkuh untuk kepedihan
Yang selayaknya menjadi selimut kala dingin mulai membentang
Semestinya kita menjadi selembar,..sekali lagi hanya selembar saja
pinta dari kejujuran

Kau dan aku terlalu angkuh untuk itu
sama-sama bertahan untuk bersembunyi mengatakan

"Aku membutuhkanmu."

Seperti musim

Aku memilih melupakan kuncup yang berserak di terpa musim dingin.
Beku dan diam

Seperti musim
Kita enggan datang bersamaan
Aku menunggu satu musim dari mu berlalu

Kemudian semesta menyerah
Memberikan aku satu musim semi
Menjadikan mekar bunga-bunga
Kelopak mahkota merona manja
Menggantung diujung ranting yang landai

Seperti musim
Kita tak pernah datang bersamaan

PUISIKU BERNANAH

sekarang!

menjadikanmu seperih perihnya luka

puisiku bernanah

dan aku tak bisa mengobati

YANG AKU TAU KAU TETAP DISISIKU, PRIAKU


Sudah tinggallah di situ!
Biarkan aku yang menyambangimu

Seperti itulah, aku mencatat tiap bentuk ucapannya
Seperti siluet yang berbata, memucat
Langit yang tak berwarna biru

Selaksa dirimu,
Biarkan imajiku yang mendampingi
Sesekali memejam pasti
"Bahwa hampir tiap detik kutulis satu puisi untuk menjagamu"

Telah kugurat utuh keindahanmu
Percaya adalah satu-satunya bagian yang paling bermakna dalam hidupku

Gerai panjang rambutku, menyingkap dalam riuh gelombang yang kusebut hasrat,
Kau tau, ada yang ingin kurasakan nyata
Atau aku seorang perempuan yang begitu takut untuk menerima itu

Husssttt...(sentuh jemari kebibirku)

Tenanglah,
Aku adalah pria yang mengharapkanmu
Sama seperti kau perempuan yang memberi jemarimu untukku

Aku masih disini, kita..ya aku dan kamu
Perkenankan aku untuk memberi indah,
dan mengatakan...

"Aku memang pantas untukmu"

SEPOTONG JANTUNG

barangkali 

aku hanya

sepotong jantung 

yang kau tinggal 

di kediri

merah, 
berdenyut 
dan abadi

HUJAN MENGINGATKANMU

pagi ini hujan, terkisahkan dari sepotong malam
dari rindu yang tak pernah usai
atau bahkan belum pernah selesai

kata-kata menggigil telah menjebak kita
kita hanya berjibagu pada satu karma
resah...dusta

kusabdakan sebuah cinta dari satu pertemuan yang tercecer
dari ribuan rasa yang belum selesai terucap
bahwa ambil dan kecuplah satu kejora yang paling abadi dalam berpijar

achh...
terlalu sulit aku mengartikan sebuah pengharapan
dan kubiarkan saja hujan turun pagi ini
kuselesaikan pula doa doa untukmu
yang pernah tertinggal dipelataranku

aku ingin belajar tentang kesetiaan kepada kelam
yang tak pernah mengkhianati malam

SEPERTI AKU MEMAKNAIMU

akupun tak bisa mengatakan apa-apa
saat hujan melepaskan mendung dari keletihan
awan hitam bersembunyi
alam bernuansa bahagia

seperti aku memaknaimu

"jangan! jangan urungkan bahagiamu
menitilah pada embun untuk menjadi butir sejuknya"

angin meninggalkan jejak semilirnya pada daun kering
seperti mimpi kita yang berjarak,atau seperti kepasrahn waktu menghukum kita

sisakan satu perjalanan dari sebuah pertemuan
agar sampai
agar tak usai

MEMUJAKU



Sunyi, puisi tentangmu menyekap rindu yang teramat panjang,
Sekejap puisiku menjadi lengkap ketika sepasang janji bertautan

Cinta telah memberi kita ruang yang panjang untuk saling memahami
Aku dan kamu

Kita berbicara meluruskan tiap aksara pada harapan
bahkan tak jarang kita membawa airmata menjadi saksinya

Ah..
Biarkan satu persatu ranting menggugurkan daunnya yang menguning
Meninggalkan sebuah nama pada tepian mimpi
Biarkan debu membawa kepasrahan dedaunan untuk berserak
dari gemulai rayu sang angin

"Bawa aku perempuan bermata kabut?" pintamu senja itu

Aku hanya seorang yang membawa cinta pada pusara rengkuhmu
waktu yang akan menuliskan semua pada tutur puisiku
Atau aku harus membiarkan takdir memapahku

"Singgah dan berterus teranglah kepadaku, mata kabutku?" pintamu sekali lagi

Kita bernafas dari napak tilas luka
Diam dan hening adalah sisi seyap yang pernah kita lagukan
(dia yang mengatakan itu, sayu menatapku)

Sekawanan unggas pulang kesarang, rimbun ilalang riuh tak menghalang
Sebelum luka mengungkap sempurna, kuselipkan do'anya diantara tanda semesta

Diam hanya memujaku

Minggu, 03 November 2013

KETIKA PUISINYA MENJADI LUAR BIASA

malam berpangkuh
saat-saat dirinya menulis dan membacakan sajak-sajak itu
bulan kesendirian
pria keheningan
dan manakala aku perempuannya.


Seorang gadis penyendiri mendatangi pelukis, ia meminta agar mau melukiskan cinta untuknya
Pelukis itu tergagap dan tak sanggup
Lalu sang pelukis mendatangi para penyihir agar memberi tahu bentuk cinta
para penyihir pun tak sanggup

Lalu ia mendatangi para dewa, agar memberi tahu bentuk cinta
tapi para dewa pun terdiam tak memberi jawaban

Akhirnya sang pelukis kembali dan menemui sang gadis, menjelaskan kalau ia tak sanggup melukis cinta

Gadis itu pun tersenyum
kemudian dia menatap langit

Adakah cinta?

---

Jika malam menjanjikan cahaya

apakah setiap bintang, bisa kita tandai sebagai jumlah harapan?

Rasanya ingin kupetik satu rindu pada rerimbun sepi
sebagai jamuan pertemuan dari segalaku
--
: Puisi Pertama, Sepasang Pengantin

Lakukanlah
Biar malam lebih liat

Bulan merambat meninggi
memecah kedunguan katak-katak yang tak perduli lirih kesetiaan

Dua insan ini berjenis kelamin tanpa operasi
sedang melanjuti kitab Adam dan Hawa pada sejarah buah kuldi di pesisir Surga

Ssst..
kita memasuki jilid keberapa pada buku-buku peluh di ujung pori-pori
bukankah renyit jam dinding tak pernah mau pergi, untuk mengungkap napas yang semakin mengikat

Ah!
aku lupa minum pil penunda kehamilan

Damn!

--

"Sabtu sore sedikit terputus-putus untuk kuikuti" seorang gadis memaksa agar matahari tak lekas sembunyi

Perlahan ia buka tiap huruf-huruf cemas di bibirnya

Seorang pemuda merengek-rengek agar hujan merubuhkan gelap, untuk satu alasan, agar ia tetap berada di rumah yang di bencinya

"Ini malam ketakutanku" teriak sepasang remaja yang tak ingin di sebut rasa iri

Aku tak ingin teracuni kisah khianat ketika alasan di lapisi impian paling madu

Lalu mereka menutup pintu

Aku rapuh malam ini


aku suka tulisan-tulisan ini...kusimpan.

Kamis, 24 Oktober 2013

PEGANG AKU, PUANKU

Lalu membacanya seperti sebuah sabda bumi,
dan malam telah menyediakan serahim subur untuk pengaduan

Kisah itu dimulai dari satu malam
Dia menyimpan semangat kita yang enggan padam
Membiarkan kata-kata menjadi nada-nada indah meninabobokan
Gugusan aksara dan bintang bertabur di lembar langit yang semakin renta

Kita di sana (tunjuk satu bintang yang jatuh tak sengaja)

Mencari awalan cerita untuk ditulis didalam sebuah kata.
Merebahkan dada pada keheningan dan mengantarku pada rasa percaya

"Engkau esok yang membawa kisah baru untuk diseru" jelasmu

"Kita tak kalah bukan? dan kau tak mengalah bukan?" kupastikan itu

Aku,.. aku telah terlanjur mengirimkan sajak pada semesta
Di satu ruang sepi yang menjadikanku alkisah, hanya itu hanya cinta.

Aku jadikan untuk ruh impian pijakan senyum tak berjarak dari tatap yang sama kepada matahari

Bersandinglah sebelum puisi kusimpan dimataku, kuciumi aromanya lalu kuterbangkan impiannya
Biarkan satu persatu kepak-kepaknya mencapai mahligai langit berdenyut mengisi napasku

Aku mengerti bergandeng bersisi adalah senyum yang begitu roman kita kutip dari buku hati
"Boleh ku ucapkan puisi untuk matamu?" kau lembut menatapku
"Aku sudah ada didalamnya, sejak pertemuan pertama itu"

Berjelaga
Dan telah kuhalau butir debu berkali-kali di matamu
Khayalku sejelmamu
Pegang aku...puanku

CENGKRAMA PAGI

Dan kutemui pagi
Pada kibas gerai rambut basah perempuan lugu
Menyunting tatapan dari bilik embun
Yang merangkul manja diujung melati

Semalam aku begitu damai
Menyalakan ribuan bintang di dua retina miliknnya
Damai, menelisik antara kedip mata
Damai pada ucapnya, "aku sayang Mama"

Tiada yang dapat Engkau ambil dariku
Apapun itu
Tak ada yang mumpuni selain harapan
Juga ini, Cinta...

Yang sedemikian sederhana

"Telah kita ciptakan surga antara ego,
kelembutan sekaligus kesetiaan"

KAU DISINI .....

Kau di sini
Aku menghilang
Kau menetap
Dan aku kembali pulang

Seperti pori
Dinding dinding merekam
Langit langit menguntit percakapan
Gema taburkan ingatan, sedikit kenangan

Kau di sini
Aku menghilang
Kau menetap
Dan aku kembali pulang

Seperti sepi
Menganyam seribu memori
Mengharap hujan tak berhenti
Malam sendiri bulan merapat mati

Kau di sini
Dan aku kembali pulang
Menjadi tempat ternyaman selimuti hati

YANG TELAH MEMINTA

Dan bila,
Telah ada dalam tubuhku
Cipta dari rusuk keabadian

Aku tahu, pertemuan itu sebuah persinggahan sementara
Yang lambat merapuh, lunglai kemudian jatuh terhuyung
Sampai memfana di jalan waktu

Kemarin aku menjadi perempuan penunggu satu musim yang tak lelah menumpahkan gerimis
bahkan kemarin aku juga menjadi separoh dari pelangi yang bermisteri

"Lalu apa kau masih mencintainya?" seorang pria bertanya

Aku menyebutmu buku, lembaran dari sebuah catatan sunyi
Aku menyebutmu airmata yang tumpah dari sedu sedan sesal
Dan
Aku menyebutmu masa lalu

Kemudian pria bertanya itu, memegang tangan perempuan itu
mengajaknya menghitung terbit matahari

"Hiduplah bersamaku" ujarnya.

BERCERITALAH AKU

Berceritalah aku
Tentang dirinya
Keangkuhan
Tentang suara
Batin
Tentang satu masa
Mendewasa

Kemarin dan hari ini
Adalah persamaan dua wajah yang membawa ku pada satu pilihan
Sama-sama menemukan satu awalan yang sama untuk memulai satu cerita
Adalah ikatan suatu ingatan panjang dari rindu dan detak waktu

Berceritalah aku
Tentang kehadiran yang kumulai dari satu pejaman
Berkata, meminta pada-Nya

"Takdirkan dengannya"

Dan daun-daun jati saling bersentuhan
Menyematkan setiap pinta yang kutujukan
 

Senin, 30 September 2013

CINTA, DIA MENGAMBILNYA


(Cerpen)

Sebenarnya berapa lama lagi Tuhan kau ambil dia, Leukimia tahap akut, tersisa enam bulan dari hari itu.

"Ada bercak darah sayang." kataku sambil membereskan sprei ditangan. Kutunjukkan kepadamu. Jelas ini bukan darah perawan, bercak kental kehitaman. Dan aku melihatmu tersenyum cemas atau menutupi gusar.


Dua pekan lewat, ketika kita berdua berpegangan tangan erat, melewati zebra cross. Saat lampu merah menyala dan aku tiba-tiba berteriak lantang. "Tolongg, tolong dia...Stoppp!!!". Histeris ketika kamu tiba-tiba limbung dengan mata terpejam, wajah pucat.
"Tuhan jangan ambil dia, yaa.." pinta.

Ini Tahun baru yang ke 5 setelah pernikahan kita, tak ada pesta, tak perlu lampu kerlap kerlip, tak juga kembang api. Kita hanya memandang dua lilin di meja, dengan lampu temaram. Cundlelight dinner.
"Ingat lagu ini...
Indah, terasa indah
Saat kita terbuai dalam alunan cinta
Sedapat mungkin terciptakan rasa
Keinginan saling memiliki...

Aku tak meneruskan. Melihat matamu sayu, bibir sedikit membiru meski tak bias cahaya lampu. Ternyata hangat mantel tebal itu tak bisa mengurangi dingin tubuhmu, Angin merangsek kejam kepori-porimu.

"Cium aku sayang.." Pintaku mendekatkan wajahku. Dan kau memejamkan mata, mengecup bibirku lembut.
"Jangan ambil sekarang ya, Tuhan." bisikku. Aku tak butuh kembang api atau terompet tahun baru, aku hanya butuh jawaban yang setiap waktu kupertanyakan.

"Sepertinya kita harus merenovasi kamar kita sayang." ucapku sesaat melihatmu dikursi roda menyelesaikan membaca buku-bukumu. Mengganti cat dinding, menjadi wallpaper dinding dengan corak garis-garis hijau. Segar. Menyusun rapi buku-buku favoritemu. Membuka jendela membiarkan udara membelaimu.
Menyisakan satu ranjang, meja kecil, lap top, foto pengantin kita yang tersenyum setiap hari, dan rak kecil untuk menyimpan miniatur popeyemu. Aku tersenyum melihatnya.

"Tarraa...lihat aku menyulap kamar kita, seger kan" kataku sambil merentangan kedua tanganku.

"Hehe...iya, kayak es cendol , Ma.." timpalmu. Kau masih bisa berceloteh segar. Padahal dua malaikat gembira mencatat tanda-tanda menutupnya usia. Kupeluk dirimu, "Jangan ambil dia sekarang, Tuhan.." pintaku hampir berbisik.

Aku tak bisa menyembunyikan kepanikanku. Tuhan!! Apa dosa kami. Betapa semua titah-Mu telah kuagungkan. Aku tak pernah lupa untuk tunduk kepada-Mu, mengagungkan kalimat-kalimat surga-Mu. Kasihani kami Tuhan, kasihani dia..Tuhan, tolong..tolongg...!
Melihatmu berdiri, terhuyung, tangan bergetar di sisi pintu kamar mandi. Seperti zombie. Darah kental keluar dari hidungmu, mengacak ke dagu, baju. "Jangan sekarang ya, Tuhan..aku mohon".

Bercak merah sebesar biji salak, di belakang bahumu, ketika aku mengganti bajumu. Aku pura-pura tak melihatnya, tanda-tanda itu semakin jelas, dan aku menepiskannya. Sayang, semoga kau tak tahu. Meski mungkin kau merasakannya.
"Kita kemo ya..." pintaku, dan kau menggeleng. Kemo itu membuat dia ketakutan, sudah dilakukan tiga kali selama penyakit sialan itu memilih ragamu untuk menjadi istananya.

Siang itu, langit tak begitu terik, awan seolah memayungimu. Aku hanya memperhatikanmu dari bawah dan dirimu di balkon rumah. Serius. begitulah ekspresi ketika dirimu sudah mengencani kertas dan pena. Puisi, kau membuat puisi dan melipatnya.
Kau suka sekali puisi. Dasar kamu, masih saja manis, mencoba romantis. Andai kau juga menulisnya untuk Tuhan, sayang. Andai Tuhan menyukai puisi..

Ini surga. Malam ini aku berada di surga. "Berapa bulan kita tak bercinta sayang?" tanyaku. Kurebahkan kepalaku ke dadamu yang tak sebidang dulu. Rongga-rongga igamu terlihat jelas. Ternyata di pintu mautpun aku masih mendapatkan surga. "Ah, kau masih perkasa."
"Sayang ada bintik merah ya?" tanyamu, aku tau kau pasti merasakannya ya, atau kamu menghitung setiap tanda-tanda. Aku melihatnya, setelah kita bercinta tadi dan kita terlalu bahagia sampai sama-sama larut tak mengulasnya.

"Ini kemo ke berapa sayang? temani aku ya?" pintamu
"Iya sayang," jawabku sambil tersenyum. Memakaikanmu syal dan kupluk rajutan tanganku.
Dan kau tersenyum . Hebat kau masih bisa tersenyum sayang, batinku.

"Ma, aku pingin tidur. Peluk aku ya..?" pintamu
Betapa lunglai tubuhmu. Kurus. Tulang pipimu keras. Wajahmu memucat. Selang infus itu menyumbat hidungmu yang terlihat semakin mancung.
Aroma ruang ini membuatku ingin tercekik. Sepertinya aku berada alam yang tak pernah ada penghuninya. Hanya detik dari alat Electrocardiography
tik..tik..tik...tik...
Aku pingin mati, menghujam tubuhku dengan tiang infus yang ada di sampingmu.
"Tidurlah sayang, tidur" paling tidak aku masih mendengar desah nafasmu.

"Ma, mama.." panggilmu. Kalau bisa aku ingin sehari ini berdua dengan mama. Kita pulang ya.." rajukmu.
"Aku pingin moccachino, roti tawar dengan selai kacang." pintamu lagi
"Iya sayang." jawabku.
Secangkir moccachino, roti tawar dan selai kacang, Coffelate kesukaanku sudah siap.

"Sepertinya malam ini aku ingin mengulang masa malam pertama kita. Berbincang, menikmati malam dengan saling melontarkan puisi bersahutan. Usai itu kita bercinta." katamu sambil mengerlingkan matamu yang semakin cekung. Terlihat sekali lingkaran hitam dimatamu.

"Ayah!" kucubit lenganmu yang semakin tipis. Dan kau terkekeh-kekeh dengan pundak terguncang-guncang.

"Udah ah..udah jangan diteruskan" sergahku. Kau terdiam, sejenak sambil mengelao bibirmu yang meninggalkan sisa selai kacang.

"Kalau begitu rayu aku, Mama?"

"Idih, genit" Aku cemberut

"Bukannya Mama itu jago banget saat merayu"

"Ehem...hem..." dehemku menggoda, "Bapak ini ganteng deh..coba lihat telapak tangannya. Kataku sambil mengamati telapak tangannya. Lihat garis ini, garis cinta. Tau gak siapa yang paling mencintai Bapak?" tanyaku mencoba serius.
Dan kau menggeleng.
"Aku!" jawabku sambil menunjuk ke hidungku. Dan kau terkekeh lagi. "Udah sayang...udah!"

"Aku mencintaimu, perempuanku". katamu, memapah tanganku, menyandarkan kepalaku kedadamu. Tak sebidang kemarin. Tulang igamu sedikit menyakiti pipiku, meski syal itu menggulat leher dan dadamu. Rasanya baru kemarin kau perkasa, membuatku melayang di surga.

"Dan aku mencintaimu begitu luar biasa, lelakiku" jawabku

"Berpuisilah untukku, Mama..!" pintamu lagi

Aku masih dipelukanmu. "Aku mencintaimu, suamiku. Aku mencintaimu, sayang. Aku sungguh mencintaimu. Sangat mencintaimu. Aku begitu mencintaimu..." kalimatku terhenti..Tiba-tiba pelukan tanganmu terjatuh. Aku diam memejam. Detak jantungmu tak kudengar lagi. Kupejamkan mataku erat. Kugigit bibirku keras sampai aku tak merasakan rasa sakit.

"Tuhan..please jangan sekarang, jangan...ya..? ku mohon jangan sekarang Tuhan. Jangan ambil sekarang. Dia masih belum memenuhi janjinya untukku, kita belum bahagia Tuhan. Jangan, ..jangan sekarang.Tuhan..."
Rasanya telah habis rintihku, air mataku terburai tak terbendung lagi. Wajahku masih enggan menjauh dari dadamu. Mungkin masih ada sisa detak untukku. Tuhan..Kumohon...jangan sekarang..Tuhannnn...Please...

***

Ketika langit tak berujung
Aku berada di tepian hijau
Bersama angin, dalam pelukan udara
Ada perempuan abadi disana
Dan dia abadi
Aku punya cinta seteguh matahari
Dan jika nanti langit membawaku pergi
Biarkan kutitipkan cinta di lesung bibirnya yang merah

Puisi ini untuknya Tuhan. Agar dia tahu..betapa aku menyanjungnya, Cinta.

Tertanda untukmu
Perempuanku



Itu puisi terakhirmu untukku. Aku menemukan puisi itu yang disembunyikan di balik bantal kursi roda.

PEREMPUAN BERMAHKOTA AWAN

Tak ada pelangi, hujan pun tak mampu menggerimisi
Langit tampak suram, sesuram kenangan yang pernah dipeluknya
Lelaki itu membawa kepercayaanku untuk diletakkan diujung karang
Biarkan saja gelombang pasang menenggelamkan
Biarkan asin air laut mengkristalkan

Aku membawa kepercayaan perempuan bermahkota awan
Penggiring kupu kupu untuk singgah dan terbang rendah di gemulai kembang
Dia menyihirku,
Menjadikanku candu atas tiap kerling matamu

Pertanyaanku,
Adakah aku salah memegangnya
Serupa gerimis bening matanya
Deras mendentum jantung lelaki sepertiku
Adakah salah dia keajaibanku?

Jawab aku...

Jumat, 27 September 2013

RINDU

"Hujan...kapan kamu datang!!"

DIRINYA

"Apa yang kau rasakan ketika dalam pelukannya?"

Aku hanya punya kekuatan yang lemah
Aku juga punya ketajaman yang rapuh, rapuh  membaca isyarat
Tapi aku menemukan hati yang kuinginkan
tanpa harus tenggelam bersama gugurnya sesal yang mengikat erat

"Tapi aku takut tak bisa membahagiakanmu?"

Bahagia akan datang menguji kita ketika cinta hinggap
Dan kau tak perlu mengatakan ketakutan itu

Jadilah kau seperti langit dengan gelapnya
ketika rintik hujan membawa gemuruh halilintar
tapi menyiapkan pelangi di usai biasnya

Sesungguhnya cinta adalah sebuah kejujuran yang hakiki
dan kita tak bisa berdusta untuk itu
karena cinta telah diciptakan Tuhan untuk kita

TENTANG AKU SEBELUM DIA

Perempuan itu mengeluarkan cigarete mint, mematik api dari zippo di sebelahku.
Dia menghisap dan menghembuskan asapnya, menciptakan bulatan-bulatan kecil yang semakin pudar dari bibir merahnya

Aku hanya bisa menatapnya, mencoba membaca dari gerak mata dan kaki jigangnya. Cemas.
Pandangannya dibuang diluar jendela, hiruk pikuk kota yang tak pernah tidur.

Aku menemani Amira. Perempuan cantik disampingku. Sang mantan terindah yang kutemukan lima bulan yang lalu.
Ya. Pertemuan tak direncana, tanpa undangan. Melalui jejaring sosial. Ya benar, Facebook
Sudah beberapa tahun yang lalu, setelah lulus kuliah kami berpisah. tepatnya tak ada perjanjian perpisahan.
Yang jelas, kita berdua sama-sama kehilangan komunikasi.
Perjumpaan kali ini, seperti membuka kembali ruang yang pernah terisi. Perjumpaan indah tapi juga beban yang begitu berat.
Setelah aku memiliki dia, menjadi Hermawan suami Irarini, wanita yang menemaniku saat ini. Wanita itu memang bukan kekasihku, tapi aku memilihnya karena dia pilihan ibuku.

"Bagaimana tentang aku?" tanya mu.

Beberapa menit kemudian kita diam, masing-masing tak bisa menyembunyikan kegaduhan jantung.
Amira perempuan yang begitu aku cintai dulu.

"Rasanya pantaskah aku menyesal membuat akun itu?" kataku
"Bagaimana dengan aku" tanyamu kembali

Tak lebih kita itu seperti sebuah kertas yang terbakar menjadi abu, dan tak mungkin kembali menjadi kertas putih yang bisa tertulis kembali
Kenapa kita begitu picik, dan aku juga seperti seorang lelaki pesakitan
yang begitu pintar menyembunyikan rahasia, sampai dia tak mengetahuinya.
Atau aku begitu licik, bisa memutar balikkan alasan yang kerap aku paparkan

"Kau priaku..." katamu seraya menangsek pandangan kearahku
"Kau mencintainya?" tanyamu kembali,

Cinta,... ketika kepahitan dan kesendirian itu menghampiriku
aku tak ubahnya menjadi lilin padam tersudut diruangan.
aku tak ubahnya merpati kecil yang tak bersayap
"salah ketika aku butuh api untuk menjadi terang ruang kosong itu,
keliru ketika sang merpati itu mengharap tumbuhnya sayap baru?

Aku melihatnya memainkan bulatan-bulatan asap dari mulutnya, kadang dihisapnya dalam

"Kau masih suka menulis?" tanyaku.
Dijawabnya hanya dengan menggeleng sambil memainkan sebatang rokok di sela jemarinya. Begitu mahir jari-jarinya menari.

"Jadi tulisanmu berhenti pada satu puisi itu?" tanyaku lagi

Hilang
Sebelum senja ranum
Hujan tak kutemukan
Yang biasa manja
Pipi merona Jingga

Sirna
Dibalik awan
Atau bersembunyi di bongkahan batu besar
Atau mati di tindih mendung hitam

Hujan kali ini bukan bening
Tapi warna keruh airnya jatuh

Dan ku membiarkannya kuyup

"Cukup!!" jangan kau teruskan itu.

"Jadi itu tentang aku." jawabku menatapmu. Dan kaupun tersedu, dengan kedua bahu yang bergerak.

"Menangislah? jangan bendung air mata itu.." kataku. Dadaku ini cukup bidang untuk kau berandar. Kuras semua airmatamu dan aku akan diam memaknainya.

Benar saja, Amira menangis sejadi-jadinya, dia membiarkan kemeja basah. Aku merangkulnya. Ruang hotel ini sejuk tap aku tak bisa merasakannya,
Kurangkul tubuhnya, isaknya tak berhenti. Sampai kita berdua terbenam dalam sebuah romansa malam.

***

Pagi ini aroma rumah ku tercium, sebuah senyuman menyambutku tulus, dan aku menjawab dengan senyuman kembali. Dia meletakkan secangkir teh panas dimeja beranda.

Pagi ini aku melihat rona wajah Irarini, istriku biasa, tak ada sudut kecewa atau dia tak memahami rahasia yang kusembunyikan.

"Duduklah disini!" pintaku padanya

Bagaimana kalau kita pindah rumah, kebetulan ada yang menawari tugas kantor diluar pulau. Gimana? tanyaku hati-hati

"Aku ikut denganmu. Semoga ini menjadi awal yang indah." harapmu sambil tersenyum, menyeduhkan teh panas. "Minumlah."

Benar saja kutinggalkan kota ini. Bukankah kesalahan tak boleh terulang, dan aku menyiapkan untuk pantas dilihat Tuhan.

Aku mencintai aku miliki sekarang, hidup dan mencintai yang menjadi realita,
Meninggalkan kantor, meninggalkan Amira, mengganti nomor, menutup akun selamanya. Facebook

Sebelumnya kutinggalkan simple massage di inboxku. "Selamat Tinggal"

MAAF AKU TAK TEPAT WAKTU

Ini perasaan. Kamu, dia mungkin juga aku tak bisa memprediksi kapan dia hadir, dan kapan kita bisa mengucap selamat tinggal.

Jujur, mereka tak tau apa tentang perasaan, mereka tak memahami detak jantung yang teratur berdenyut, tentang irama yang menghentak-hentak nadi.

Kusilangkan dua jemariku dibalik punggung,aku membiarkan kepalaku tertunduk. Entah dalam diam yang sesaat aku berimaji. Seperti di sebuah bioskop tunggal, tanpa siapa-siapa hanya aku dan kamu, sepasang hamba yang mengumbar senyum dan tatapan. Salah? ataukah dosa? tiba-tiba kalimat itu menyekat lamunanku dan kembali aku tertunduk mendengarkan nasehat panjang yang terurai dari mulut ibu.

Hampir benar semua, yang dikatakan ibu. Bagaimana mungkin seorang ibu mau membuat hidup anak-anaknya tidak bahagia. Entah kuasa dari semesta yang mana ketika seorang anak harus mengatakan "tidak" dan untuk itu aku tak berani mengatakannya. Seperti saat ini aku hanya tertunduk, dan menyilangkan beberapa kali telunjuk dan jari tengahku, "tidak bu, tidak.." kataku lirih hampir tak terdengar

Pada sebuah pagi, ketika mentari benar-benar belum membumbung tinggi, tiga ketukan lembut terdengar di balik jendela.

"Laras, laras..." panggilnya lirih. Lalu tubuhku melangkah, ku buka jendela. Kau tersenyum getir, wajahmu kau arahkan tepat menghadapku, tapi tak seperti itu denganku, wajahku kuarahkan ke rinai tanah, menutupi pertemuan pandangan saling tatap.

Sebenarnya aku memahami kedatanganmu subuh ini dan aku tak memperkirakan apa yang akan terjadi.
"Kau mengertikan kata-kata sederhana tentang cinta?" katamu membuka percakapan. Seperti kau pernah mengungkapkan dalam satu puisi buah tanganmu

mencintai dengan kalimat yang tulus
tak perlu ungkap dalam ruang rindu
biarkan cinta menjadi cinta
ketulusan tak merubah menjadi iba
meski persembahan bukan hidupku
memiliki hatimu adalah hal terindah
dalam rasaku...

dan biarkan kalimat terakhir itu tetap kuhafal, dan tetap menjadi amalanku. Kau ulurkan tanganmu melalui jeruji jendela kamarku. Kali ini kupaksakan memandang wajahnya. Satu wajah yang sudah delapan tahun menemani ku, seraut wajah yang dulu begitu bersemangat mengatakan, "Kita harus menjadi sepasang pengantin, Non!" katamu sedikit memaksa. Atau kalimat "Tenang, tunggu aku akan menjadi perwira tangguh, yang bisa kamu banggakan. Rasuna Ramadhan namaku dan Larasati namamu, pas kan.."

Itu impian kecil, sekecil bisikan, sekecil usia kita dulu. Sekecil tingkah lakumu, "Lihat, aku ukir namamu di kaki kananku!" katamu suatu ketika. "Hei bukan cuma di situ, lihat itu!! tunjukmu disebuah pohon mlinjo di belakang rumah. Dan kamu membawa impian itu dan berusaha mewujudkannya. Sesungguhnya aku begitu picik, tak memandang impianmu tak berfikir logika dimana ada hati yang begitu terlanjur jatuh kemudian pungkas menjadi harapan-harapan kandas.

Kau tak mengingat ketika kita berdua menyimak romansa Romeo-Juliet, bagaimana perjuangan sang lelaki untuk mendapatkan cinta wanitanya. Atau aku malah berfikir tentang sebuah realita, kadang apa yang kita impikan tak seindah harapan, benar aku kalah, tak setegar Juliet. Kuulangi lagi, aku tak memahami cinta seperti pehaman roman Juliet.

Hidup memang untuk sang pemberani, bukan pemasrah yang tak bisa berbuat apa-apa.

Kupandang sekali lagi kepergian lelaki di hadapanku. Dan aku tak bisa membendung tangis ketika dia bersungut-sungut sembunyi. Masih menghindar ketakutan, dan masih tetap menjadi kebiasaan yang tak pernah dilupakan, ketakutan untuk memperlihatkan kepada kedua orang tuaku. "Ini aku Rasuna yang begitu mencintaimu."

Kutarik nafas dalam-dalam. Aku punya Tuhan, mungkin untuk beberapa saat kemarin aku sedikit melupakan Dia. Tapi kini aku membutuhkan-Nya, memandang-Nya untuk bersandar di sisi-Nya. Maafkan aku Tuhan.

Tepat. Akan kupaksakan sejenak hati ini, apa yang pernah kutulis tentang pengabdian. Mungkin ini saatnya aku mewujudkan bahwa, ini pengabdianku ibu.

Dia pria biasa, tak berjas, atau berseragam. Mungkin dia punya keteguhan cinta yang sudah dia kemas rapi menjadi lelaki hebat yang berani.

"Mengapa kau mau menikah denganku?" tanyaku suatu hari. Atau kau begitu tergila-gila, atau mungkin tak ada lagi Tuhan menciptakan bidadari lain sesempurna aku. Cerca ku menyelidik, Aku begitu ketus.
Aku tau kurasa Tuhanpun tak mampu berbuat apa-apa ketika seorang hambanya sudah jatuh cinta. Mereka akan berubah berbalik menjadi kebiasaannya.
Mereka melupakan rasa intelektualnya yang begitu agung yang di ciptakanNya. Terbuai dengan nama Cinta.
Dan ini uraiannya
"Aku hanya melihat sepasang mata kerinduan yang biasa aku lihat ketika kaki-kakimu kau pijakkan melalui jalan setapak. Begitu tabahnya engkau, saat mereka masih berfikir hura-hura, tapi kau sudah berada di semua tempat kerja, mengupayakan peluhmu untuk satu abdimu.
Aku hanya melihat perempuan dengan senyum purnama ketika dihadapkan dengan berbagai macam duniawi.
Aku hanya melihat ada seorang perempuan berparas sederhana yang berada di satu tebing yang mungkin akan terjun kedalamnya. Aku hanya melihat itu." jelasnya.
Sekali lagi, aku tertunduk ketika aku tak mampu menjawabnya. Yach...seperti beginilah, aku dihadapkan pada dua pertanyaan, seperti ujian langit saat akan menurunkan hujan di musim kemarau.

Hari ini, episode hidup yang tak pernah terlupakan. Ketika kedua mataku menyaksikan inilah realita.

Aku berada dalam pelukan cinta, Rasuna. "Bawa aku Rasuna?" pintaku dengan mata berkaca. Aku adalah mawar merah yang menunggu layu, menunggu gugur satu persatu kelopaknya. Aku mawar merah berada di sebuah benggala yang setiap hari harus memaksakan menggugurkan kelopaknya untuk menerima keputusan. Apakah ini adil Rasuna?"

Kau membelai rambut panjangku yang tergerai. Membiarkan butir-butir air mataku menganak deras di dadamu. Dan satu katapun tak mampu keluar dari bibirmu. Aku tau betapa cinta telah menghukum kita. Ketidak berdayaan masing-masing tak mampu membawa kita kepada makna sesungguhnya.
Jawabmu, "Tunggu, aku harus meyakinkan kedua orang tuaku."
Begitulah, keduanya masih sama.
Kita, atau tidak lain masih tentang keluarga aku dan engkau, sama-sama menjaga jarak. Sama-sama keras untuk menjaga ego. Sampai mereka melupakan ada yang saling mengagumi. Mungkin inilah kisahnya, dan aku sendiri tak menyangsikan apa-apa.

Lupakan tentang pintaku satu hari itu Rasuna, kau tak bisa mengubah paradigma cinta, bahwa hamparan cinta itu seperti lautan, luas tak berbatas. Tak terdandingi.
Lupakan tentang aku yang berusahan mematikan ego keluargamu, "Bawa ibumu untuk aku.?".

Ini adalah susunan alinia terakhirku yang kugores dengan tinta patah-patah, tanpa kukurangi atau kububuhi.

Ibu tersenyum penuh kemenangan, dia telah menyiapkan sepasang cincin polos tanpa mata, tanpa hiasan apa-apa. Sederhana. Dan jemari kemenangan di tunjukkan pada sepasang jemari dengan senyum puas, memandangku.
Nyatanya, ibukulah pemenangnya.
Cermin tempat aku berkaca dan berdiri bergaya pecah.
"Mungkin aku cacat ibu, atau mungkin aku tak pantas untuk menyematkan cintaku sendiri. Nyatanya aku menerima tanpa ulasan yang bisa dicerna makna, karena memang aku tak pernah menemukannya.

Rasuna, kini aku hanya punya satu pinta saja. Doakan aku ya...

**
Ketika semua hal yang menjadi pembentuk nasibmu sudah diberikan kepadamu,
untuk kau pilih dan kau maksimalkan keindahannya bagi kebahagiaanmu.