Senin, 30 September 2013

CINTA, DIA MENGAMBILNYA


(Cerpen)

Sebenarnya berapa lama lagi Tuhan kau ambil dia, Leukimia tahap akut, tersisa enam bulan dari hari itu.

"Ada bercak darah sayang." kataku sambil membereskan sprei ditangan. Kutunjukkan kepadamu. Jelas ini bukan darah perawan, bercak kental kehitaman. Dan aku melihatmu tersenyum cemas atau menutupi gusar.


Dua pekan lewat, ketika kita berdua berpegangan tangan erat, melewati zebra cross. Saat lampu merah menyala dan aku tiba-tiba berteriak lantang. "Tolongg, tolong dia...Stoppp!!!". Histeris ketika kamu tiba-tiba limbung dengan mata terpejam, wajah pucat.
"Tuhan jangan ambil dia, yaa.." pinta.

Ini Tahun baru yang ke 5 setelah pernikahan kita, tak ada pesta, tak perlu lampu kerlap kerlip, tak juga kembang api. Kita hanya memandang dua lilin di meja, dengan lampu temaram. Cundlelight dinner.
"Ingat lagu ini...
Indah, terasa indah
Saat kita terbuai dalam alunan cinta
Sedapat mungkin terciptakan rasa
Keinginan saling memiliki...

Aku tak meneruskan. Melihat matamu sayu, bibir sedikit membiru meski tak bias cahaya lampu. Ternyata hangat mantel tebal itu tak bisa mengurangi dingin tubuhmu, Angin merangsek kejam kepori-porimu.

"Cium aku sayang.." Pintaku mendekatkan wajahku. Dan kau memejamkan mata, mengecup bibirku lembut.
"Jangan ambil sekarang ya, Tuhan." bisikku. Aku tak butuh kembang api atau terompet tahun baru, aku hanya butuh jawaban yang setiap waktu kupertanyakan.

"Sepertinya kita harus merenovasi kamar kita sayang." ucapku sesaat melihatmu dikursi roda menyelesaikan membaca buku-bukumu. Mengganti cat dinding, menjadi wallpaper dinding dengan corak garis-garis hijau. Segar. Menyusun rapi buku-buku favoritemu. Membuka jendela membiarkan udara membelaimu.
Menyisakan satu ranjang, meja kecil, lap top, foto pengantin kita yang tersenyum setiap hari, dan rak kecil untuk menyimpan miniatur popeyemu. Aku tersenyum melihatnya.

"Tarraa...lihat aku menyulap kamar kita, seger kan" kataku sambil merentangan kedua tanganku.

"Hehe...iya, kayak es cendol , Ma.." timpalmu. Kau masih bisa berceloteh segar. Padahal dua malaikat gembira mencatat tanda-tanda menutupnya usia. Kupeluk dirimu, "Jangan ambil dia sekarang, Tuhan.." pintaku hampir berbisik.

Aku tak bisa menyembunyikan kepanikanku. Tuhan!! Apa dosa kami. Betapa semua titah-Mu telah kuagungkan. Aku tak pernah lupa untuk tunduk kepada-Mu, mengagungkan kalimat-kalimat surga-Mu. Kasihani kami Tuhan, kasihani dia..Tuhan, tolong..tolongg...!
Melihatmu berdiri, terhuyung, tangan bergetar di sisi pintu kamar mandi. Seperti zombie. Darah kental keluar dari hidungmu, mengacak ke dagu, baju. "Jangan sekarang ya, Tuhan..aku mohon".

Bercak merah sebesar biji salak, di belakang bahumu, ketika aku mengganti bajumu. Aku pura-pura tak melihatnya, tanda-tanda itu semakin jelas, dan aku menepiskannya. Sayang, semoga kau tak tahu. Meski mungkin kau merasakannya.
"Kita kemo ya..." pintaku, dan kau menggeleng. Kemo itu membuat dia ketakutan, sudah dilakukan tiga kali selama penyakit sialan itu memilih ragamu untuk menjadi istananya.

Siang itu, langit tak begitu terik, awan seolah memayungimu. Aku hanya memperhatikanmu dari bawah dan dirimu di balkon rumah. Serius. begitulah ekspresi ketika dirimu sudah mengencani kertas dan pena. Puisi, kau membuat puisi dan melipatnya.
Kau suka sekali puisi. Dasar kamu, masih saja manis, mencoba romantis. Andai kau juga menulisnya untuk Tuhan, sayang. Andai Tuhan menyukai puisi..

Ini surga. Malam ini aku berada di surga. "Berapa bulan kita tak bercinta sayang?" tanyaku. Kurebahkan kepalaku ke dadamu yang tak sebidang dulu. Rongga-rongga igamu terlihat jelas. Ternyata di pintu mautpun aku masih mendapatkan surga. "Ah, kau masih perkasa."
"Sayang ada bintik merah ya?" tanyamu, aku tau kau pasti merasakannya ya, atau kamu menghitung setiap tanda-tanda. Aku melihatnya, setelah kita bercinta tadi dan kita terlalu bahagia sampai sama-sama larut tak mengulasnya.

"Ini kemo ke berapa sayang? temani aku ya?" pintamu
"Iya sayang," jawabku sambil tersenyum. Memakaikanmu syal dan kupluk rajutan tanganku.
Dan kau tersenyum . Hebat kau masih bisa tersenyum sayang, batinku.

"Ma, aku pingin tidur. Peluk aku ya..?" pintamu
Betapa lunglai tubuhmu. Kurus. Tulang pipimu keras. Wajahmu memucat. Selang infus itu menyumbat hidungmu yang terlihat semakin mancung.
Aroma ruang ini membuatku ingin tercekik. Sepertinya aku berada alam yang tak pernah ada penghuninya. Hanya detik dari alat Electrocardiography
tik..tik..tik...tik...
Aku pingin mati, menghujam tubuhku dengan tiang infus yang ada di sampingmu.
"Tidurlah sayang, tidur" paling tidak aku masih mendengar desah nafasmu.

"Ma, mama.." panggilmu. Kalau bisa aku ingin sehari ini berdua dengan mama. Kita pulang ya.." rajukmu.
"Aku pingin moccachino, roti tawar dengan selai kacang." pintamu lagi
"Iya sayang." jawabku.
Secangkir moccachino, roti tawar dan selai kacang, Coffelate kesukaanku sudah siap.

"Sepertinya malam ini aku ingin mengulang masa malam pertama kita. Berbincang, menikmati malam dengan saling melontarkan puisi bersahutan. Usai itu kita bercinta." katamu sambil mengerlingkan matamu yang semakin cekung. Terlihat sekali lingkaran hitam dimatamu.

"Ayah!" kucubit lenganmu yang semakin tipis. Dan kau terkekeh-kekeh dengan pundak terguncang-guncang.

"Udah ah..udah jangan diteruskan" sergahku. Kau terdiam, sejenak sambil mengelao bibirmu yang meninggalkan sisa selai kacang.

"Kalau begitu rayu aku, Mama?"

"Idih, genit" Aku cemberut

"Bukannya Mama itu jago banget saat merayu"

"Ehem...hem..." dehemku menggoda, "Bapak ini ganteng deh..coba lihat telapak tangannya. Kataku sambil mengamati telapak tangannya. Lihat garis ini, garis cinta. Tau gak siapa yang paling mencintai Bapak?" tanyaku mencoba serius.
Dan kau menggeleng.
"Aku!" jawabku sambil menunjuk ke hidungku. Dan kau terkekeh lagi. "Udah sayang...udah!"

"Aku mencintaimu, perempuanku". katamu, memapah tanganku, menyandarkan kepalaku kedadamu. Tak sebidang kemarin. Tulang igamu sedikit menyakiti pipiku, meski syal itu menggulat leher dan dadamu. Rasanya baru kemarin kau perkasa, membuatku melayang di surga.

"Dan aku mencintaimu begitu luar biasa, lelakiku" jawabku

"Berpuisilah untukku, Mama..!" pintamu lagi

Aku masih dipelukanmu. "Aku mencintaimu, suamiku. Aku mencintaimu, sayang. Aku sungguh mencintaimu. Sangat mencintaimu. Aku begitu mencintaimu..." kalimatku terhenti..Tiba-tiba pelukan tanganmu terjatuh. Aku diam memejam. Detak jantungmu tak kudengar lagi. Kupejamkan mataku erat. Kugigit bibirku keras sampai aku tak merasakan rasa sakit.

"Tuhan..please jangan sekarang, jangan...ya..? ku mohon jangan sekarang Tuhan. Jangan ambil sekarang. Dia masih belum memenuhi janjinya untukku, kita belum bahagia Tuhan. Jangan, ..jangan sekarang.Tuhan..."
Rasanya telah habis rintihku, air mataku terburai tak terbendung lagi. Wajahku masih enggan menjauh dari dadamu. Mungkin masih ada sisa detak untukku. Tuhan..Kumohon...jangan sekarang..Tuhannnn...Please...

***

Ketika langit tak berujung
Aku berada di tepian hijau
Bersama angin, dalam pelukan udara
Ada perempuan abadi disana
Dan dia abadi
Aku punya cinta seteguh matahari
Dan jika nanti langit membawaku pergi
Biarkan kutitipkan cinta di lesung bibirnya yang merah

Puisi ini untuknya Tuhan. Agar dia tahu..betapa aku menyanjungnya, Cinta.

Tertanda untukmu
Perempuanku



Itu puisi terakhirmu untukku. Aku menemukan puisi itu yang disembunyikan di balik bantal kursi roda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar