Jumat, 27 September 2013

MAAF AKU TAK TEPAT WAKTU

Ini perasaan. Kamu, dia mungkin juga aku tak bisa memprediksi kapan dia hadir, dan kapan kita bisa mengucap selamat tinggal.

Jujur, mereka tak tau apa tentang perasaan, mereka tak memahami detak jantung yang teratur berdenyut, tentang irama yang menghentak-hentak nadi.

Kusilangkan dua jemariku dibalik punggung,aku membiarkan kepalaku tertunduk. Entah dalam diam yang sesaat aku berimaji. Seperti di sebuah bioskop tunggal, tanpa siapa-siapa hanya aku dan kamu, sepasang hamba yang mengumbar senyum dan tatapan. Salah? ataukah dosa? tiba-tiba kalimat itu menyekat lamunanku dan kembali aku tertunduk mendengarkan nasehat panjang yang terurai dari mulut ibu.

Hampir benar semua, yang dikatakan ibu. Bagaimana mungkin seorang ibu mau membuat hidup anak-anaknya tidak bahagia. Entah kuasa dari semesta yang mana ketika seorang anak harus mengatakan "tidak" dan untuk itu aku tak berani mengatakannya. Seperti saat ini aku hanya tertunduk, dan menyilangkan beberapa kali telunjuk dan jari tengahku, "tidak bu, tidak.." kataku lirih hampir tak terdengar

Pada sebuah pagi, ketika mentari benar-benar belum membumbung tinggi, tiga ketukan lembut terdengar di balik jendela.

"Laras, laras..." panggilnya lirih. Lalu tubuhku melangkah, ku buka jendela. Kau tersenyum getir, wajahmu kau arahkan tepat menghadapku, tapi tak seperti itu denganku, wajahku kuarahkan ke rinai tanah, menutupi pertemuan pandangan saling tatap.

Sebenarnya aku memahami kedatanganmu subuh ini dan aku tak memperkirakan apa yang akan terjadi.
"Kau mengertikan kata-kata sederhana tentang cinta?" katamu membuka percakapan. Seperti kau pernah mengungkapkan dalam satu puisi buah tanganmu

mencintai dengan kalimat yang tulus
tak perlu ungkap dalam ruang rindu
biarkan cinta menjadi cinta
ketulusan tak merubah menjadi iba
meski persembahan bukan hidupku
memiliki hatimu adalah hal terindah
dalam rasaku...

dan biarkan kalimat terakhir itu tetap kuhafal, dan tetap menjadi amalanku. Kau ulurkan tanganmu melalui jeruji jendela kamarku. Kali ini kupaksakan memandang wajahnya. Satu wajah yang sudah delapan tahun menemani ku, seraut wajah yang dulu begitu bersemangat mengatakan, "Kita harus menjadi sepasang pengantin, Non!" katamu sedikit memaksa. Atau kalimat "Tenang, tunggu aku akan menjadi perwira tangguh, yang bisa kamu banggakan. Rasuna Ramadhan namaku dan Larasati namamu, pas kan.."

Itu impian kecil, sekecil bisikan, sekecil usia kita dulu. Sekecil tingkah lakumu, "Lihat, aku ukir namamu di kaki kananku!" katamu suatu ketika. "Hei bukan cuma di situ, lihat itu!! tunjukmu disebuah pohon mlinjo di belakang rumah. Dan kamu membawa impian itu dan berusaha mewujudkannya. Sesungguhnya aku begitu picik, tak memandang impianmu tak berfikir logika dimana ada hati yang begitu terlanjur jatuh kemudian pungkas menjadi harapan-harapan kandas.

Kau tak mengingat ketika kita berdua menyimak romansa Romeo-Juliet, bagaimana perjuangan sang lelaki untuk mendapatkan cinta wanitanya. Atau aku malah berfikir tentang sebuah realita, kadang apa yang kita impikan tak seindah harapan, benar aku kalah, tak setegar Juliet. Kuulangi lagi, aku tak memahami cinta seperti pehaman roman Juliet.

Hidup memang untuk sang pemberani, bukan pemasrah yang tak bisa berbuat apa-apa.

Kupandang sekali lagi kepergian lelaki di hadapanku. Dan aku tak bisa membendung tangis ketika dia bersungut-sungut sembunyi. Masih menghindar ketakutan, dan masih tetap menjadi kebiasaan yang tak pernah dilupakan, ketakutan untuk memperlihatkan kepada kedua orang tuaku. "Ini aku Rasuna yang begitu mencintaimu."

Kutarik nafas dalam-dalam. Aku punya Tuhan, mungkin untuk beberapa saat kemarin aku sedikit melupakan Dia. Tapi kini aku membutuhkan-Nya, memandang-Nya untuk bersandar di sisi-Nya. Maafkan aku Tuhan.

Tepat. Akan kupaksakan sejenak hati ini, apa yang pernah kutulis tentang pengabdian. Mungkin ini saatnya aku mewujudkan bahwa, ini pengabdianku ibu.

Dia pria biasa, tak berjas, atau berseragam. Mungkin dia punya keteguhan cinta yang sudah dia kemas rapi menjadi lelaki hebat yang berani.

"Mengapa kau mau menikah denganku?" tanyaku suatu hari. Atau kau begitu tergila-gila, atau mungkin tak ada lagi Tuhan menciptakan bidadari lain sesempurna aku. Cerca ku menyelidik, Aku begitu ketus.
Aku tau kurasa Tuhanpun tak mampu berbuat apa-apa ketika seorang hambanya sudah jatuh cinta. Mereka akan berubah berbalik menjadi kebiasaannya.
Mereka melupakan rasa intelektualnya yang begitu agung yang di ciptakanNya. Terbuai dengan nama Cinta.
Dan ini uraiannya
"Aku hanya melihat sepasang mata kerinduan yang biasa aku lihat ketika kaki-kakimu kau pijakkan melalui jalan setapak. Begitu tabahnya engkau, saat mereka masih berfikir hura-hura, tapi kau sudah berada di semua tempat kerja, mengupayakan peluhmu untuk satu abdimu.
Aku hanya melihat perempuan dengan senyum purnama ketika dihadapkan dengan berbagai macam duniawi.
Aku hanya melihat ada seorang perempuan berparas sederhana yang berada di satu tebing yang mungkin akan terjun kedalamnya. Aku hanya melihat itu." jelasnya.
Sekali lagi, aku tertunduk ketika aku tak mampu menjawabnya. Yach...seperti beginilah, aku dihadapkan pada dua pertanyaan, seperti ujian langit saat akan menurunkan hujan di musim kemarau.

Hari ini, episode hidup yang tak pernah terlupakan. Ketika kedua mataku menyaksikan inilah realita.

Aku berada dalam pelukan cinta, Rasuna. "Bawa aku Rasuna?" pintaku dengan mata berkaca. Aku adalah mawar merah yang menunggu layu, menunggu gugur satu persatu kelopaknya. Aku mawar merah berada di sebuah benggala yang setiap hari harus memaksakan menggugurkan kelopaknya untuk menerima keputusan. Apakah ini adil Rasuna?"

Kau membelai rambut panjangku yang tergerai. Membiarkan butir-butir air mataku menganak deras di dadamu. Dan satu katapun tak mampu keluar dari bibirmu. Aku tau betapa cinta telah menghukum kita. Ketidak berdayaan masing-masing tak mampu membawa kita kepada makna sesungguhnya.
Jawabmu, "Tunggu, aku harus meyakinkan kedua orang tuaku."
Begitulah, keduanya masih sama.
Kita, atau tidak lain masih tentang keluarga aku dan engkau, sama-sama menjaga jarak. Sama-sama keras untuk menjaga ego. Sampai mereka melupakan ada yang saling mengagumi. Mungkin inilah kisahnya, dan aku sendiri tak menyangsikan apa-apa.

Lupakan tentang pintaku satu hari itu Rasuna, kau tak bisa mengubah paradigma cinta, bahwa hamparan cinta itu seperti lautan, luas tak berbatas. Tak terdandingi.
Lupakan tentang aku yang berusahan mematikan ego keluargamu, "Bawa ibumu untuk aku.?".

Ini adalah susunan alinia terakhirku yang kugores dengan tinta patah-patah, tanpa kukurangi atau kububuhi.

Ibu tersenyum penuh kemenangan, dia telah menyiapkan sepasang cincin polos tanpa mata, tanpa hiasan apa-apa. Sederhana. Dan jemari kemenangan di tunjukkan pada sepasang jemari dengan senyum puas, memandangku.
Nyatanya, ibukulah pemenangnya.
Cermin tempat aku berkaca dan berdiri bergaya pecah.
"Mungkin aku cacat ibu, atau mungkin aku tak pantas untuk menyematkan cintaku sendiri. Nyatanya aku menerima tanpa ulasan yang bisa dicerna makna, karena memang aku tak pernah menemukannya.

Rasuna, kini aku hanya punya satu pinta saja. Doakan aku ya...

**
Ketika semua hal yang menjadi pembentuk nasibmu sudah diberikan kepadamu,
untuk kau pilih dan kau maksimalkan keindahannya bagi kebahagiaanmu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar