Minggu, 29 Desember 2013

BOLEH JUJUR?

boleh jujur,

kamu
adalah perlawanan
teristimewa
tanpa
diminta

MENCARI PUISI

Tuhan, kau tau
semalaman aku mencari puisi yang biasa kubaca sebelum mulai bermimpi
kuaduk isi laci meja rias, mungkin disana dia tinggalkan

Ah, ternyata tak ada
kemana dan dimana, Tuhan?

Sekali lagi kuaduk isi laci,
padahal disitu dia biasa sembunyikan kata-kata indah
sebelum dia melenggang pulang
masih tak ada, hanya tersisa lembar puisi usang

Telah kurapalkan semua yang menjadi lakumu
kusimpan selekat detak jantung
Ah, Tuhan belum mendengarku kali ini
Debatkan para pujangga
apa makna sebuah cinta
membosankan
atau semestinyalah merah sewarna cinta

Malam,
di tepi ranjang paling menderita
langkahku memutar
keluar ruang tempat kami berpesta

Tuhan, aku menemukannya! teriakku
ternyata Dia belum menghukum rinduku

"Kau adalah bidak didadaku
tempat meletakkan asmara juga amarah
Kau sebuah tungku
dari petik abadi satu nyala bertungku yang tersebut rindu
Untukmu, satu
aku punya cinta melebihi usia matahari, camkan itu"


terima kasih, kau dan Tuhan.

KITA HITAM PUTIH

kita itu hitam putih
tak berwarna
dua buah pensil saling bersilang
bisu
diam
tapi berfiksi, bersetubuh riang

PANTAI KELIMA

kau tau, 
kita seperti pantai ke lima yang kita kunjungi seharian ini
melelahkan tapi indah

TERNYATA

ternyata..
 kita terlalu letih untuk dikhianati

janji 
seperti tumpukan mimpi yang berilusi

AKHIR YANG INDAH


akhir yang indah
kita punya indah yang terselip dibawah ranjang kita
secangkir mocca sederhana kita nikmati bergantian
bekas bibir kita bersentuhan
bahwa aku ingin menjadi bersama sampai renta

resah rindu bertumpu den
kadang rindu bersenandung pada bibir ranum merah
kadang saat lantang suara siraman hujan siang malam
kau berkelakar bahwa hanya pelukku yang sanggup menghangatkanmu
ohh...

kau, aku dan secangkir mocca sederhana
bukan hanya mata-mata kita
bahwa seribu susunan kata rancumu
yang membuatku jatuhkan rindu
gan seribu aktifitas

HUJAN, PAGI DAN BERLARI...

hujan, senja, secangkir mocca
adalah pemandang tempo dulu
sofa kuno menatap pintu tempat berbincang cinta
puisi berlirik, denganmu

hujan, malam, secangkir mocca
musik sepi mengalun tak bersuara
diam, terbenam

hujan,pagi, masih secangkir mocca
musik sepi masih mengalun tak bersuara
tapi berbeda
aku berbicara tentang hampa, tanpa dia,
berkisah harapan yang kini melingkar di pergelangan kakiku

hujan, pagi
berlari....

Jumat, 27 Desember 2013

KITA SENYAWA



Ada rengkuh degupku lebih hangat hari ini
di bawah hujan di gegap nada riuh air di jendela

Menatapmu dalam pias rintik tak beratur,
menggumuli abstrak lamunku

kepadamu pemilik jarak rekatkan lekat tatapku,
kedalam kolam matanya yang bulan
sebening pengharapan
sehalus angin meriap helai keningmu

Lagi.. andai cemas mengekal
diujung sepi mata kabutmu
berlayarlah sejenak menyusuri
hulu curam mataku yang elang
agar kubawa terbang memapah
binar bersayap pelangi
di biru langit penuh janji

sudahlah, aku tak terlalu bijak untuk ini
bukan kah kita berdua mengagumi luka dari sebuah cinta
kemudian kita sendiri yang merangkainya
berjalan tertatih, jatuh berdiri

meski, sebuah ketika kita mengutuki malam
menanyakan pada kesendirian

"aku tak sanggup untuk melepaskan ini?" bisikku
dan kau tersenyum menimpali

aku adalah tunas pertama yang menumbuhkanmu
diatas ladang kering, di belah tandus hati dan
di kerontang nyalimu
dan kita serahkan semua pada rekat nadi


***) puisi kami lahir lagi
suma feat mahadiba

RISALAH DUA HATI

Aku tak akan mampu menghitung detik
pada jumlah hari untuk menemuimu
mungkin tak sejumlah pias
tetes gerimis di lekuk bulu matamu
tapi mungkin sepenuh ketabahan
kereta terakhir untuk mengiringi
kepulangan dan menyimpan
pekat sunyi di kaca jendela berkabut

Kuikuti tiap kelebat sepi
dari deru perih perjalanan
untuk sekisah pertemuan
di getar senyummu Jelas,
akan terus ku-usung kisah manis bilah
dagumu di rebah hela napasku
dalam geliat puisiku menyusup
rengkuhmu

Biarkan kita menikmati pejam tak terhingga

aku ingin pulang
dimana kita pernah bicara tentang terbang
langit dan bulan
kesebuah tempat dimana aku bisa menjadi bersamamu
untuk sekedar duduk beRpegangan tangan

meneriakkan sepi mengulang kenangan
pertemuan dan awal mengumpulkan perasaan

aku ingin pulang, pada satu dekapan
dan kita akan berkecupan.
bertukar aroma bibir yang tersimpan
di antara mimpi semalaman.
atau sekedar berpandang-pandangan
dan bertukar senyuman.
kemudian saling berpelukan di antara bantal
yang berserakan.
setiap hari. setiap pagi.

kamu mau?


**) senyawa kita suma feat mahadiba

PUISI SUMA

Mengingatmu kembali, setelah sekian lama aku frustasi membaca puisiku sendiri

Perempuan bermata bulan
iya, benar aku menyebutmu begitu
tak seperti perempuan lainnya, kaupun sama sepertiku mencintai hujan, hujan yang menurutku adalah seribu mata kuas yang melukis jelas kelebat bayang dari sebalik puisi

Sepertinya kita sama, dalam memaknai denting lirih sepinya
begitu bersahaya
mendeburkan seberapa lengkap degup rindu harus disentuh

Apa yang harus kukatakan lagi
selain kau adalah mahligai puisiku

PEREMPUAN SEDANG ARGGGGHHHHH.....



perempuan dan suatu senja yang lengang
secangkir kopi panas yang tak disentuh
mengetuk jemari diatas meja
mengikuti nada yang samar terdengar

perempuan dan lamunan
menanti matahari turun, menjadi langit abu-abu

apa yang ada dihatinya
hampa!
menatap cerita cinta yang dulu
menunggu waktu yang membeku

arggghhhh....
teriaknya pada kursi kosong
meja-meja diam yang bungkam
menghardik pada pupus

arrggghhhhh...
sekali lagi, langit diam
atau sengaja meniadakan, rancu
huruf dan angka serasa lari dari pandangan

perempuan disudut ruang
berskenario tentang yang diingat
masih tersisa satu kenangan
seperti diteguk habis kopi yang pekat

lalu,
perempuan diam
sediam sebuah penjelasan

31 'desember akhir



tentang desember hari ke 31,
tentang 364 langkah hari sebelum hari ini
2013

bulan purnama
hujan dan pelangi
sampai puncak himalaya
menyeretku

pijar kembang api
mengepul ambyar keangkasa
seperti musnah semua

sekelumit rasa
mengalir tenang
tapi beriak panas
sekelumit isyarat
yang membuat cukup bermeditasi

tertatih
sedikit sedih
kemudian bahagia
berhasil mentas dari sebuah luka

hujan, pelangi, purnama dan puncak keangkuhan himayala
kenyataan yang pergi atas nama perenungan

sayang,
akhirnya datang
perayaan dan harapan berbaur
beresolusi apa yang paling baik tahun nanti?
semoga keberadaan kita lebih baik kedepan

sayang, sayang...apakah kau masih buatku?

GOMBAL YANG JUJUR



memandang wajah
degan mata terkatup letih
melihatmu
selimut tebal
memiliki peluk
..
tidur dan lelap
dari keabadian yang berujung

Kamis, 26 Desember 2013

LARUTKAN AMARAHMU



aku berseru diatas kertas-kertas surat yang kukirimkan kepada langit
siapa yang pertama menyapa di hari pertemuan
siapa pula yang membuat lesung garis dirona tawa tanpa diminta

larutkan marahmu
tenggelamkan ku

telahku torehkan tanda mata pada langkah diujung kisa
telah kutepikan lelah dalam jarak beratus kilo  jauhnya

lingkari doaku, aminkan hela nafasmu
mungkin kesadaran adalah detak yang mendekatkan sepermili  jarak

matamu aku berteduh
dari binar kesepian itu.

larutkan marahmu
habiskan egoku pada periukmu
h

SIAPA AKU?


siapa aku, Suma?

aku hanya perempuan kabut
yang tak pernah berhenti menulis tentang cinta

memapah habis kerinduan dengan tajam mata pena
disitulah gerimis kuibaratkan
dan hembus angin hilir berganti musim yang ditentukan

tak ada airmata yang berisak ketika bernuansa

sementara aku,
menyeretmu dari satu memoar
berkali-kali
yang telah kugenapi isi rahim dengan batas akhir di bulan ini

ternyata masih ada yang tak kuketahui
kau bataskan diterakhir abadi

MENCINTAI BULAN



bulan menyentuh
satu pesona rindu terjebak dan mengikat

aku kagum padanya
dia bukan keindahan gunung yang agung atau mena

cukup, dialah yang menampung semua
sedu sedan, tawa atau berjua bahagia
dialah yang mampu melukis mimpi ketika sepi
dan menorehkan rindu kala tertidur lelap

kita pernah mengutuk malam yang sunyi
dan berharap mimpi tak merangkul kita lagi
"sudah cukup! kita berdua cukup lelah untuk semua dusta, benar kan?"

seperti mencintai bulan
dirinya adalah kagum yang berbeda
dan kita berdua ada didunia sana

keharuan adalah penyatu
menggantung anggun untuk sebuah janji
yang belum pasti
ra yang mewah

KEPADA JARAK



kepada jarak
ada angin yang kutitipkan pada rindu
pada resah yang menyelimuti sakitku

aku adalah sebuah cinta yang dikandaskan
menganak sungai sampai menenggelamkan rindu

aku adalah sukma yang begitu mencintaimu
menyingkirkan keterbatasan mengalpakan sejenak
pada siapa batas akhirku?

kita adalah dua senja yang merona
yang hanya bisa mumbuat garis hening
kadang pula kita berdua saling pamer sepi pada malam
kadang pula cemburu berputar-putar saja diatas kepala kita

"sepertimu!" katamu malu,
waktu itu kita menjadi benar-benar bisu untuk mengungkapkan rindu

"Kau tau sebagaian isi puisiku tentangmu," katamu merayu

ahh...

kepada jarak
yang aku tau, puisi perpisahan mungkin akan menunggu
tapi ijinmu, biarkan sejenak waktuku yang merekam setiap detik
keadaanku, sebelum kita terbitkan cahaya mentari yang sama.

"HARGAILAH APA YANG KITA LAKUKAN"


sastra, tertulis dengan desah
peluh dan pelukan
sprei putih lusuh dan selimut bisu
tak banyak bicara meski mereka tau

malam-malam peluh
rindu antara dua dan satu

masih ingat, kita coba menulis puisi rancu diatas orgasme itu
indah bukan, tragis terkesan jumawa tapi romantis

ranjang mengalah
ranjang terpisah
melawan hati yang terpisah waktu
tapi waktu tak pernah memisahkan kita dari kulit telanjang
yang semakin syahdu

sastra tubuh, tertulis dengan desah
menukik membiasakan gemulai luruh kita saling mengingatkan
"hargailah apa yang kita lakukan,"

hujanlah pengaduan rindu dan cemburu
terakhir membiarkan kulitku tanpa selembar balutku

disini ranjang
dan aku masih terlalu jumawa pada orgasme sastra tubuh milikmu

AKU INGIN PULANG

aku ingin pulang
dimana kita pernah bicara tentang terbang
langit dan bulan
kesebuah tempat dimana aku bisa menjadi bersamamu
untuk sekedar duduk berpegangan tangan

meneriakkan sepi mengulang kenangan
pertemuan dan awal mengumpulkan perasaan

aku ingin pulang
ke dekapan

KETIKA HUJAN TURUN

ketika hujan turun
dan lantang puisi-puisinya terbaca
kata-kata tersemat didepan jendela
biasanya kata bebas menyusup kedalam kamar kita
tapi tidak dengan ini
hanya hening, lantas bungkam dan muram

hujan masih deras
kita masih berdua dengan pikiran masing-masing
tak ada sebait kalimatpun terumbar
hanyut bersama puisi yang tak bisa ditepiskan

hujan terakhir masih deras
berdua kita nanar merelakan kalimat
yang pelan tenggelam

Senin, 23 Desember 2013

SYAIR YANG MENGISYARATKAN ..KAU SAHABAT








duniaku kini,
keajaiban yang kurindukan
dia menjelma menjadi sebuah jalan kecil
yang melepaskan aku dari persimpangan keabu-abuan
aku punya mereka
aku punya banyak cerita
tak cukup melihatnya
hanya mengenalinya
bahkan kadang aku menunggunya
seperti janji kekasih datang malam ini

duniaku adalah sesuatu yang tak menakutkan
dia seperti sebuah taman
dengan warna warni bunga
aroma dan keteduhan
kadang juga sebuah permainan petasan
xixixix

begitulah sebagian kata yang kuungkap
keberadaannya, ada meski masih dalam lingkar kefanaan
namun aku melihat keelokannya
kini kau pilihanku, duniaku sabaha

taruhlah sebuah kalimat indah
pada sajak dan syair yang mengisyaratkan
kau sahabat.


*kadang ada keinginan untuk menjadi seperti yang kemarin, dan itu manusiawi.
Benar2 rindu yang lalu.)




Rabu, 18 Desember 2013

PEGANG AKU, PUANKU


Senyawa Aksara Mahadiba, SAS

Lalu membacanya seperti sebuah sabda bumi,
dan malam telah menyediakan serahim subur untuk pengaduan

Kisah itu dimulai dari satu malam
Dia menyimpan semangat kita yang enggan padam
Membiarkan kata-kata menjadi nada-nada indah meninabobokan
Gugusan aksara dan bintang bertabur di lembar langit yang semakin renta

“Kita di sana!” (tunjuk satu bintang yang jatuh tak sengaja).
Melihat bias merona dari selembut mata itu bernyawa. Mata yang begitu hidup.

Mencari awalan cerita untuk ditulis didalam sebuah kata.
Merebahkan dada pada keheningan dan mengantarku pada rasa percaya

"Engkau esok yang membawa kisah baru untuk diseru" jelasmu

"Kita tak kalah bukan? dan kau tak mengalah bukan?" kupastikan itu. Maaf kulontarkan saja kalimat itu, ketika aku melihat raganya mulai begitu lelah, dan kedua pelupuk matanya merona. Aku yang akan memapahmu ketika kau mulai pasrah, aku juga akan memberimu nafas ketika kau mulai kelelahan.
“Kau percaya, kita pun bisa menulis takdir kita sendiri, meski Dia yang mmemegang kendali? Kau tak meragukan keteguhan kita kan?” tanyaku  bertubi

Aku,.. aku telah terlanjur mengirimkan sajak pada semesta
Di satu ruang sepi yang menjadikanku alkisah, hanya itu hanya cinta.
Cinta buat kita adalah kisah romansa yang lahir dari tetesan air mata, kepedihan, luka, bahagia. Tak ayal kita kerap melontarkan pertanyaan-pertanyaan aneh, yang memancing kita beramarah, ber api. Tau yang kemudian terjadi? Pasti kau sudah menebaknya. “Cinta kita diuji lagi sayang?”

Aku jadikan untuk ruh impian pijakan senyum tak berjarak dari tatap yang sama kepada matahari

Bersandinglah sebelum puisi kusimpan dimataku, kuciumi aromanya lalu kuterbangkan impiannya
Biarkan satu persatu kepak-kepaknya mencapai mahligai langit berdenyut mengisi napasku

Aku mengerti bergandeng bersisi adalah senyum yang begitu roman kita kutip dari buku hati
"Boleh ku ucapkan puisi untuk matamu?" kau lembut menatapku
"Aku sudah ada didalamnya, sejak pertemuan pertama itu"
Kau rebah sekali lagi, bidang kita terengkuh.
“Telah begitu adil Tuhan mempertemukan dua luka yang saling percaya”, sambil mengecup keningmu

Berjelaga
Dan telah kuhalau butir debu berkali-kali di matamu
Khayalku sejelmamu
Pegang aku...puanku

*mereka meminangnya, memintanya dari kita. terima kasih

MENCOBA MENGINGATKANMU mr. b



:> apa aku harus kembali membacakan puisi yang kita tulis disebuah meja kayu
disamping mocca kesukaanmu yang mulai tak mengepul

Di lekat usai bertatap
aku menaruh riuh alun hati
sederas senyum tipis
di ranum makna tersaji
sesejuk layar daun matamu

:> bagaimana? kau ingat itu?,
sepenggal bait yang kau tanam di segenggam tanah tandus
menunggu menyemai,


bintang seribu bintang bertabur ingatan
ketika serangkum kisah bermukim di satu musim
ketika doa terjemahkan dari pejam hingga pijar diam
adalah daun-daun gugur dan segar kemudian
adalah berdiri terpaku pada bahu tempat bersandar

jalan sunyi adalah satu pilihan
detakmu adalah cinta kekuatan
senyum yang terbias
kagum dan menguatkan

:> bagaimana? kau ingat!
ini, sepenggal lagi untuk mengingat
betapa jujurnya puisimu

aku membiar
detak palung merambat
meliat lekat harum puisi
searoma mawar di rekah gulir jemarimu
malam bersapa bulan
bintang berlari rintik
merapat tak berjarak
menyusun titian kecil

matamu puisi
senyummu puisi
hidungmu puisi
bibirmu puisi
alis matamu puisi
bulu matamu puisi

bagaimana?
jika diammu juga puisi

:> ahh,
maka ku tak berharap kau menjadi insomnia.
pada penggalan puisi akhir kita


kuamini setiap laku bintang
pada ulas buai rengkuhan tangan
pada takdir yang mengamit lingkar pinggul sang hawa
pada sesunting catatan kisah berencana

jangan, jangan tinggalkan aku pada kesaksian

:> terima kasih pada carik kalimatmu hari ini

"Aku membutuhkanmu."

Aku memilih bait terakhir untuk kujadikan ikatan
"kita hanya lamunan berparas puisi.."

Seperti sebuah cincin yang terlanjur melingkar, erat dan kuat

Sepi untukku bukan kerapuhan yang setiap saat bisa mendermaku
Sepi hanya lagu yang tak sanggup kusyairkan

Kau tau apa yang membuat kita bersekat?

Angkuh, kita terlalu angkuh untuk kepedihan
Yang selayaknya menjadi selimut kala dingin mulai membentang
Semestinya kita menjadi selembar,..sekali lagi hanya selembar saja
pinta dari kejujuran

Kau dan aku terlalu angkuh untuk itu
sama-sama bertahan untuk bersembunyi mengatakan

"Aku membutuhkanmu."

Seperti musim

Aku memilih melupakan kuncup yang berserak di terpa musim dingin.
Beku dan diam

Seperti musim
Kita enggan datang bersamaan
Aku menunggu satu musim dari mu berlalu

Kemudian semesta menyerah
Memberikan aku satu musim semi
Menjadikan mekar bunga-bunga
Kelopak mahkota merona manja
Menggantung diujung ranting yang landai

Seperti musim
Kita tak pernah datang bersamaan

PUISIKU BERNANAH

sekarang!

menjadikanmu seperih perihnya luka

puisiku bernanah

dan aku tak bisa mengobati

YANG AKU TAU KAU TETAP DISISIKU, PRIAKU


Sudah tinggallah di situ!
Biarkan aku yang menyambangimu

Seperti itulah, aku mencatat tiap bentuk ucapannya
Seperti siluet yang berbata, memucat
Langit yang tak berwarna biru

Selaksa dirimu,
Biarkan imajiku yang mendampingi
Sesekali memejam pasti
"Bahwa hampir tiap detik kutulis satu puisi untuk menjagamu"

Telah kugurat utuh keindahanmu
Percaya adalah satu-satunya bagian yang paling bermakna dalam hidupku

Gerai panjang rambutku, menyingkap dalam riuh gelombang yang kusebut hasrat,
Kau tau, ada yang ingin kurasakan nyata
Atau aku seorang perempuan yang begitu takut untuk menerima itu

Husssttt...(sentuh jemari kebibirku)

Tenanglah,
Aku adalah pria yang mengharapkanmu
Sama seperti kau perempuan yang memberi jemarimu untukku

Aku masih disini, kita..ya aku dan kamu
Perkenankan aku untuk memberi indah,
dan mengatakan...

"Aku memang pantas untukmu"

SEPOTONG JANTUNG

barangkali 

aku hanya

sepotong jantung 

yang kau tinggal 

di kediri

merah, 
berdenyut 
dan abadi

HUJAN MENGINGATKANMU

pagi ini hujan, terkisahkan dari sepotong malam
dari rindu yang tak pernah usai
atau bahkan belum pernah selesai

kata-kata menggigil telah menjebak kita
kita hanya berjibagu pada satu karma
resah...dusta

kusabdakan sebuah cinta dari satu pertemuan yang tercecer
dari ribuan rasa yang belum selesai terucap
bahwa ambil dan kecuplah satu kejora yang paling abadi dalam berpijar

achh...
terlalu sulit aku mengartikan sebuah pengharapan
dan kubiarkan saja hujan turun pagi ini
kuselesaikan pula doa doa untukmu
yang pernah tertinggal dipelataranku

aku ingin belajar tentang kesetiaan kepada kelam
yang tak pernah mengkhianati malam

SEPERTI AKU MEMAKNAIMU

akupun tak bisa mengatakan apa-apa
saat hujan melepaskan mendung dari keletihan
awan hitam bersembunyi
alam bernuansa bahagia

seperti aku memaknaimu

"jangan! jangan urungkan bahagiamu
menitilah pada embun untuk menjadi butir sejuknya"

angin meninggalkan jejak semilirnya pada daun kering
seperti mimpi kita yang berjarak,atau seperti kepasrahn waktu menghukum kita

sisakan satu perjalanan dari sebuah pertemuan
agar sampai
agar tak usai

MEMUJAKU



Sunyi, puisi tentangmu menyekap rindu yang teramat panjang,
Sekejap puisiku menjadi lengkap ketika sepasang janji bertautan

Cinta telah memberi kita ruang yang panjang untuk saling memahami
Aku dan kamu

Kita berbicara meluruskan tiap aksara pada harapan
bahkan tak jarang kita membawa airmata menjadi saksinya

Ah..
Biarkan satu persatu ranting menggugurkan daunnya yang menguning
Meninggalkan sebuah nama pada tepian mimpi
Biarkan debu membawa kepasrahan dedaunan untuk berserak
dari gemulai rayu sang angin

"Bawa aku perempuan bermata kabut?" pintamu senja itu

Aku hanya seorang yang membawa cinta pada pusara rengkuhmu
waktu yang akan menuliskan semua pada tutur puisiku
Atau aku harus membiarkan takdir memapahku

"Singgah dan berterus teranglah kepadaku, mata kabutku?" pintamu sekali lagi

Kita bernafas dari napak tilas luka
Diam dan hening adalah sisi seyap yang pernah kita lagukan
(dia yang mengatakan itu, sayu menatapku)

Sekawanan unggas pulang kesarang, rimbun ilalang riuh tak menghalang
Sebelum luka mengungkap sempurna, kuselipkan do'anya diantara tanda semesta

Diam hanya memujaku