Rabu, 18 Desember 2013

PEGANG AKU, PUANKU


Senyawa Aksara Mahadiba, SAS

Lalu membacanya seperti sebuah sabda bumi,
dan malam telah menyediakan serahim subur untuk pengaduan

Kisah itu dimulai dari satu malam
Dia menyimpan semangat kita yang enggan padam
Membiarkan kata-kata menjadi nada-nada indah meninabobokan
Gugusan aksara dan bintang bertabur di lembar langit yang semakin renta

“Kita di sana!” (tunjuk satu bintang yang jatuh tak sengaja).
Melihat bias merona dari selembut mata itu bernyawa. Mata yang begitu hidup.

Mencari awalan cerita untuk ditulis didalam sebuah kata.
Merebahkan dada pada keheningan dan mengantarku pada rasa percaya

"Engkau esok yang membawa kisah baru untuk diseru" jelasmu

"Kita tak kalah bukan? dan kau tak mengalah bukan?" kupastikan itu. Maaf kulontarkan saja kalimat itu, ketika aku melihat raganya mulai begitu lelah, dan kedua pelupuk matanya merona. Aku yang akan memapahmu ketika kau mulai pasrah, aku juga akan memberimu nafas ketika kau mulai kelelahan.
“Kau percaya, kita pun bisa menulis takdir kita sendiri, meski Dia yang mmemegang kendali? Kau tak meragukan keteguhan kita kan?” tanyaku  bertubi

Aku,.. aku telah terlanjur mengirimkan sajak pada semesta
Di satu ruang sepi yang menjadikanku alkisah, hanya itu hanya cinta.
Cinta buat kita adalah kisah romansa yang lahir dari tetesan air mata, kepedihan, luka, bahagia. Tak ayal kita kerap melontarkan pertanyaan-pertanyaan aneh, yang memancing kita beramarah, ber api. Tau yang kemudian terjadi? Pasti kau sudah menebaknya. “Cinta kita diuji lagi sayang?”

Aku jadikan untuk ruh impian pijakan senyum tak berjarak dari tatap yang sama kepada matahari

Bersandinglah sebelum puisi kusimpan dimataku, kuciumi aromanya lalu kuterbangkan impiannya
Biarkan satu persatu kepak-kepaknya mencapai mahligai langit berdenyut mengisi napasku

Aku mengerti bergandeng bersisi adalah senyum yang begitu roman kita kutip dari buku hati
"Boleh ku ucapkan puisi untuk matamu?" kau lembut menatapku
"Aku sudah ada didalamnya, sejak pertemuan pertama itu"
Kau rebah sekali lagi, bidang kita terengkuh.
“Telah begitu adil Tuhan mempertemukan dua luka yang saling percaya”, sambil mengecup keningmu

Berjelaga
Dan telah kuhalau butir debu berkali-kali di matamu
Khayalku sejelmamu
Pegang aku...puanku

*mereka meminangnya, memintanya dari kita. terima kasih

Tidak ada komentar:

Posting Komentar