:> apa aku harus kembali membacakan puisi yang kita tulis disebuah meja kayu
disamping mocca kesukaanmu yang mulai tak mengepul
Di lekat usai bertatap
aku menaruh riuh alun hati
sederas senyum tipis
di ranum makna tersaji
sesejuk layar daun matamu
:> bagaimana? kau ingat itu?,
sepenggal bait yang kau tanam di segenggam tanah tandus
menunggu menyemai,
bintang seribu bintang bertabur ingatan
ketika serangkum kisah bermukim di satu musim
ketika doa terjemahkan dari pejam hingga pijar diam
adalah daun-daun gugur dan segar kemudian
adalah berdiri terpaku pada bahu tempat bersandar
jalan sunyi adalah satu pilihan
detakmu adalah cinta kekuatan
senyum yang terbias
kagum dan menguatkan
:> bagaimana? kau ingat!
ini, sepenggal lagi untuk mengingat
betapa jujurnya puisimu
aku membiar
detak palung merambat
meliat lekat harum puisi
searoma mawar di rekah gulir jemarimu
malam bersapa bulan
bintang berlari rintik
merapat tak berjarak
menyusun titian kecil
matamu puisi
senyummu puisi
hidungmu puisi
bibirmu puisi
alis matamu puisi
bulu matamu puisi
bagaimana?
jika diammu juga puisi
:> ahh,
maka ku tak berharap kau menjadi insomnia.
pada penggalan puisi akhir kita
kuamini setiap laku bintang
pada ulas buai rengkuhan tangan
pada takdir yang mengamit lingkar pinggul sang hawa
pada sesunting catatan kisah berencana
jangan, jangan tinggalkan aku pada kesaksian
:> terima kasih pada carik kalimatmu hari ini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar