Kadang, ingin kurajut asa denganmu, kupintal mimpi seperti dulu, masa lalu. Tak ingkar jiwa ingin terbang menyusup di relung-relung hatimu. Bersua, berkata aku masih setia. Saat engkau masih terlelap dan aku masih diam terbukalah netra, terjaga. Menghentikan putaran waktu, putaran detik mendamba menit dan tiap putaran jam untuk satu-satunya berada dalam naungan asamu, selamanya...
Harap itu kerap kupinjamkan pada kunang-kunang yang kehilangan terang. Kerap pula kupanjatkan di tengah keheningan malam permalam. Meskipun rasa telah terikat salah, namun kekal hati tak akan lelah. Cinta itu telah terukir indah, telah tertanam di tanah sanubari, lalu menjelma menjadi melati putih dengan keharuman yang menyeruak di ruang sanubari. Datanglah kau bersama embun, kemudian beriringan bersanding dengan fajar dari timur. Membelai wajah, mengecup lembut helai perhelai rambutku. Lalu buai rindu dari ucapan sayang atas rasa syukur
Aku paham pada setiap pergantian, rotasi berputar terus setiap jengkal waktu. Aku paham...
Namun tak resah dalam pelukan semu dan rengkuhan bias nanar. Kedamainalah, ketulusan pun keihklasan santun untuk menerima.
Ini menyakitkan, sebab kisah kita tak bertemu pada akhirnya. Namun masihlah engkau pada satu percaya, masih ada senyum disana, masih lugu rendu mengalun merdu, sebagaimana engkaulah bahagiaku. Aku masih mampu...
Tataplah, aku dari ujung sana. Dengar tembang-tembang serak dari suaraku, yang ingin bergetar pada nafas dan nadimu. Lihatlah, gerimis senja yang ada di ujung mata menjatuhkan butir-butir cinta dari kelopak hingga mengalir bening, di pipi berona, merah dan basah. Kekuatan itu akan datang, membawaku dalam rengkuh pelukan yang tak bisa kuemban, entah terbang bersama musyafir jiwa. Dan tinggal aku, mencari rasa percaya, yang tak pernah kutemukan di peraduan lain, selain denganmu...kekasihku...
Sebiru nuansa hatiku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar