Sekali lagi ini bukanlah sebuah rencana. Sejak aku ulas tentang dia pada sang rembulan, dia hanya diam. Saat kuberikan rangkaian kembang yang kupetik dari taman hati, dia bungkam. Gemintang ini bukan tak berkilau kembali, rembulan juga tak memunculkan benderangnya. Dia hanya bersembunyi untuk sementara, mencoba untuk tidak menampakkan diri diantara lukisan malam, mencoba untuk tak memahami arti arti kidung kerinduan pada tiap malam-malam yang dibicarakan.
Tertunduk lesu, diam tak bersuara. Secarik tulisan malam, untuknya pun melebur menjadi butiran-butiran debu malam, kau melihatnya ?? tidak... karena rasa yang tertanam ini bukan untuk di perlihatkan. Apa kau mendengarnya?? tidak juga khan...Karena memang suara hati ini bukan untuk diperdendangkan. Tak melihat dan tak bersuarapun, mereka memahami ini, tentang siapa jiwa yang terpilih. Yang indah bersembunyi di relung jiwa yang merintih.
Kembali aku mengangkat kedua telapak tangan, membersihkan wajah yang ditumbuhi beberapa bunga liar. Mengibas-kibaskan tubuh, yang telah terkikis olah jelaga hitam. Langkah gontai untuk kembali melangkah, menjadi kian berat seperti sebuah borgol baja mengikat di pergelangan kaki. Aku tak bisa pergi, apa lagi sengaja untuk membenci, Aku tak mungkin pindah dan mengundurkan diri, jika santun katanya selalu menjadikan bait-bait syair untukku.
Sang bayu, dan hembusan angin lalu. Jika kau terpa wajah ini dengan sejukmu. Basuhlah aku, menjadi jiwa kembali dalam rengkuhan restu-NYA, yang diam bersahaja, menanti aksara terakhir takdir-NYA, karena aku hanya butiran debu yang hilang kala angin kencang membawanya. Yang tersisih kala fatamorgana telah kembali melukisnya. Dan senja telah berhenti menyembunyikannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar