Jumat, 17 Februari 2012

I lied...


Dustaku....

Ingin melukis gumpalan nyata sang surya dengan kilau benderangnya yang menyilaukan. Panas merangas, membuat kerontangnya jiwa. Ingin menggambar sebuah gunungan es yang menjulang, pekat dan mengilukan. Hingga surya yang merangas, mampu meleburkan gunungan es yang menjadi gumpalah hati membeku. Dingin ...............

Dustaku....
Memaksa untuk tidak berkata “iya”, memaksa untuk menggeleng kepala, memaksa untuk enyahkan langkah kaki. Menjauh dan sebegitu jauhnya....sampai titik batas nadir mengatakan, ini harus, ....

Dustaku...
Saat tak bisa menutupi bias kerinduan, saat tak berdalih, saat tak menyembunyikan tetes air mata yang semula menggenang sampai akhirnya jatuhlah menjadi bulir-bulir kesedihan....tak bisa, sungguh tak bisa....
Kesalahan akan dustaku saat itu....

Terjebak, dan menikmati hasil karya ku sendiri, dengan ribuan kata tentang betapa perih, menahan...merintih melewati aliran pena. Memberi ribukan kiasan dengan makna dalam, yang entak mengerti atau juga tak dimengerti, sampai atau bahkan berhenti ditengah jalan, kerinduan yang tak berujung, kerinduan pada yang tak pernah muncul.....

Merasa...
Terasa, saat melewati jalan-jalan yang pernah dilalui, yang pernah tersinggahi, tergambar jelas semburat wajah lugu yang indah....bersama melewati hamparan hijau sawah dengan nyanyian-nyanyian kecil burung pipit berlarian dipematang, tawa, terengah...bermandikan peluh bercucuran , menikmati wajah lugu di tenangnya gelombang di bentangnya laut bebas, dengan bermain buih di pinggir pantai, membangun istana pasir dengan kuat dan saat terhempas di kumpulan pasir putih...merasakan indahnya kecupan , saat sunset menjadi perhiasan sempurna lautan.

Dan...ketika,
Kesimpulan adanya rasa, tertinggal...jauh, melepaskan adalah dustaku, menyisakan kenangan adalah penyesalanku...benar. Seolah bibir tak bisa berkata, mulut tak bisa bicara, rongga jiwa melebur musnah tak kala wajah lugu tak lagi sendu, wajah lugu tak lagi menggambarkan lukisan, wajah lugu tak jadi inspirasi tulisanku, wajah lugu tak lagi punya arti lagi...itu semua karena dustaku...dusta yang menyakitkan perasaan, dusta yang memaksakan meleburkan kerinduan...Menatapnya hanya menatap wajah itu...dengan harap, lukisan keindahan, dan membiarkan ragaku pada dustaku yang kuciptakan.

Maafkan dustaku...pada perasaanmu untuk gadis berwajah lugu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar