Wanita terlihat panik, wajah lugunya tak bisa mnyembunyikan kepanikannya. Saat dia sibuk mencari sesuatu didalam tas yang bergelayut manja di bahunya. Air susunya telah cepat meluber membasahi sebagian baju depannya. Meninggalkan bekas, kentara. Sudah 3 jam dalam perjalanannya dia berdiri, bis kota yang membawanya pergi, tak menyisakan tempat duduk. Sekedar untuk sebentar meletakkan pantatnya. Dia hanya mengharap belas iba dari seseoranng yang punya hati, melihat keadaannya. Wanita itu Astini, bukan karena suka, dia terpaksa meninggalkan desa kecil tempat ke tiga anaknya sekarang, bahkan dia harus terpaksa meninggalkan putri ke3 nya yang masih merah, berusia 1 minggu dan merelakan air susunya habis sia-sia ...dalam hatinya hanya ada 1 keinginannya. “Aku harus mencarimu, bukan karena aku, tapi tanggung jawabmu untuk ketiga anakmu.” Itu keinginan besar saat ini. Dan tujuan pertama adalah Ibu kota, karena kabar terakhir yang dia dengar Suaminya bertugas di sana.
Tempat ini sangat aasing. Apa yang harus dilakukannya lagi, kemanakah kaki ini harus melangkah. Sedang yang ia tahu hanya secarik kertas bertuliskan alamat tempat suaminya bertugas. Itupun benar apa tidak, dia sendiri tak tau. Apalagi ditempat ramai seperti ini. Ketakutanya semakin terlihat saat seseorang dengan tubuh sangar mencoba menarik tas yang di bawanya. Kenapa orang-orang disini?? Apa mereka benar-benar buta, mereka mendiamkan Astini dengan preman itu tarik-tarikan. Benar-benar tak punya hati. Dan akhirnya Kekuatan sipreman itu lebih besar, dia menghempas tubuh Astini di sudut kamar mandi umum. Apa daya yang bisa ia lalukan. Dengan membersikan rok panjangnya yang kotor. Sedangkan baju atasnya telah sangat kotor, air susu yang merembes membasahi bajunya menimbulkan arom amis. Dia terhuyung mencoba untuk berdiri. Tak diperdulikan orang-orang mulai dengan tatapan aneh memandang Astini. Kakinya terhenti disebuah pos polisi. Dia mencoba melaporkan kejadian yang menimpanya, baru saja. Dia tak menemukan jawaban apa-apa dari polisi itu, mereka hanya menyuruhnya duduk disebuah bangku panjang. Diam sendirian, tanpa melakukan apa-apa. Sedang perutnya sudah memberikan bunyi-bunyi untuk diisi. Wanita itu memegangi perutnya, mencoba menenangkan, menghibur dirinya agar bisa menahan rasa lapar, untuk sementara. Kerongkongannya pun mulai kering. Masih terdiam dibangku panjang , dia tertidur. Yach...itu lebih baik, dari pada ia mendengarkan bunyi-bunyi an dari perutnya, lebih baik ia tertidur untuk beberapa saat.
“Bu!!!” suara panggilan dan tepukan di bahunya membangunkan tidur Astini. Dia membuka mata, dan merapikan rambut panjangnya yang berantakan. Sesosok tubuh tergap telah berdiri di depannya. Dengan menyodorkan sebotol minuman dingin. Lelaki itu menanyakan apa yang terjadi dan tujuan datang ke kantor ini. Astini dengan jujur mengatakan semua, sampai dia di jambret sampai dengan keterpaksaan dia meninggalkan 2 anaknya, dan rela meninggal kan bayinya yang masih merah untuk mencari suaminya. Ternyata bernar doa dari langkah pertama saat dia turun di bis kota tadi. Semoga ada orang baik, yang melihatnya. Dan Lelaki itu menawarkan tempat tinggal, dan sebuah pekerjaan. (jangan berfikir dia terlalu gampang percaya sama orang). Astini sekarang tinggal disebuah bilik kecil di kantor polisi, dan dia menerima pekerjaan untuk menjadi seorang pembantu di kantor itu. Itupun dia syukuri, karena ternyata masih ada tempat untuknya.
Astini tak melupakan tujuan pertama dia datang ke sini, wanita itu tak henti2 berjalan saat istirahat tiba, saat semua pekerjaan beres. Bulan kebulan, dia mendapatkan tempat yang lebih layak, juga pekerjaan yang masih sama, seorang pembantu, tapi ini di rumah. Dirumah lelaki yang menolongnya. Dia harus merawat 3 anak kecil. Tak kerap kali, dia meneteskan airmata, saat harus memandikan anak2 kecil. Ingatannya melayang pada anak2nya. Disini aku memandikan anak mereka, sedangkan anakku? Haruskah aku anak2ku menerima kenyataan ini. Benar2 pahit..
.
Hampir 1 tahun tak terasa ia meninggalkan desa tempat 3 anaknya tinggal. Astini masih belum menemukan dimana suaminya bertugas. Dia memutuskan untuk kembali ke desanya untuk mengambil Ragil, bayi kecilnya. Betapa dia merindukan bayi kecilnya itu. Di dalam perjalanannya pulang, banyak yang harus dia ceritakan pada sang ibu. Astini kembali. Tak lepas pelukannya untuk ketiga anaknya. Anjar, Riyo dan Ragil. Bayi kecilnya yang dulu merah, sekarang menjadi sangat lucu. Ragil..tak henti2nya Astini menciumi bayi montoknya itu. Dan dian terdiam saat sang ibu menanyakan tentang Abdul, suaminya. Dan pertanyaan ibu akan dijawabnya setelah dia kembali lagi. Cukup sudah waktu seminggu untuk melepas kerinduannya kepada ibu dan 3 anaknya. Astini memutuskan untuk kembali ke ibu kota, dia mencoba mencari lagi dimana suaminya berada. Ragil dibawanya bersama.
Di ibu kota Astini bekerja menjadi seorang pembantu rumah tangga, menjadi pencuci piring di sebuah rumah makan. Ragil dibawanya serta, dimanapun astini bekerja, Ragil diikut sertakan, seolah dia tak mau lepas dari bayi kecilnya. Kadang kelucuan Ragil membuat rasa lelah dan capeknya berkurang. Dia lebih bersemangat, saat melihat Ragil mulai melangkahkan kakinya untuk pertama kali.
Bulan 4 dilewatinya. Memudar sudah tujuan pertama ia datang ke tempat ini, mungkin karena kebahagiaannya setiap harinya, yang disuguhkan tiap hari oleh Ragil kecil. Gadis kecil itu telah merubah perasaan nya, kegundahan yang dirasakan, telah samar memudar. Dan yang dirasakan saat ini dia harus menghilangkan bebannya sementara waktu. Tuhanlah yang menentukan segalanya. Pada saat semua tampak mulai wajar, disaat dia mulai memasrahkan segalanya pada Tuhan. Sebuah kejutan tak terbayangkan. Pintu kamarnya diketuk malam itu. Lelaki tegap berpakaian Dinas berdiri tegap didipannya. Disampingnya berdiri 2 anak kecil, yang wajahnya dikenalinya. Dia Anjar dan Rio, anak pertama dan kedua Astini. Tuhan..!!! Jantungnya berhenti berdetak, pria itu yang hampir 4 tahun dicarinya, penantian kesetiaannya sampai dia berada disini, harus meninggalkan semua. Hanya untuk pria ini, pria yang didepanku saat ini. Setelah dia mendekap kedua buah hatinya. Wanita itu memeluk pria itu, mengamati setiap lekuk wajahnya. Tak ada yang berbeda, hanya warna rambut yang mulai ada perubahan. Pelukan erat tak bisa dihindarkan. Kerinduannya benar2 dinantikan. Tangis kecil Ragil terdengar. Pria tegap itu melepas baret dikepalanya. Tak terasa air mata meleleh melihat bayi kecilnya yang mulai berjalan. Di gendongnya Ragil. Sepertinya Dia mencurahkan semua penyesalan yang dialaminya, tak henti2nya dia memeluk ke 3 anaknya bergantian.
...
“Ragilllll...!!!!” teriakannya mengagetkan aku. “Iya..bu!!!, sebentar!!!. Secepatnya aku merapikannya dan mengembalikan kedalam kardus tempatnya aku menemukannya. Di sudut gudang yang tak terpakai aku menemukan, sebuah kotak kardus, berisikan diari milik Ibu, yach...itu milik ibuku. Ku tutup kembali gudang itu. Dan mencari sumber suara yang memanggilku. Segera aku memeluknya dan menciumi seluruh wajah nya yang mulai keriput. “Aku mencintaimu bu, sangat mencintaimu..”.