Minggu, 22 Maret 2015

Di dan Nay


"Byee...." teriaknya melambaikan tangan, sampai tubuhnya menghilang
...

Musim mengarak tubuhku, lebur menjadi sisa hujan yang tak bernama.
dari keluguan menjadi selembut awan.
Ya, Aku yang kau panggil Nay.


"Bacalah,..." Ria sahabatku meminta

Tentang sepi itu, Nay
sepi yang menidurkan mataku
sepi yang mengajarkan banyak hal. Entah kejauhan, entah tak berjarak
aku kerap menemukanmu; pada segala ingatan, luka pun canda

kabari aku
secepat apa bayangmu tiba
menyentuh pejam, meski dalam harap terjauhku


"Aku suka barisan kata-katanya," ucapnya kembali

Kedua mataku salju,
tiba-tiba khalayanku menjelma kunang kunang
seperti menari dalam gelap
menjadi taman, menjadi kembang

"Nay..." ria menyadarkanku
...

Burung bernyanyi, isyarat pagi memanggil
"Bangun sayang, bangun dari rumah mimpi hari ini.." suara itu kembali membangunkanku
suara bariton itu terdengar kembali.
"Aku ingin menemuimu.." bisikku pelan
kubaca kembali sisa senyummu 5 tahun yang lalu
Aku beranjak. Selembar kertas yang sedikit buram kuambil dari kotak sudut almari
Ini, puisi pagi yang pernah ditulisnya
...
Begitulah penaku dalam kertas
lembut terjatuh dari mata sepimu
Dari punggung bulan, malam menipis digaris letih. Memahat gurat lenganku

buka pelupukmu, kasih
ini pagimu
peluklah...
lirihmu membuka matahari

Ah...aku mendesis.
Aku tak bisa menyebutmu.

...

masihkah kita saling berkejaran di satu alam?
masihkah kita menjadi sepasang pemaksa yang mengunci malam menjadi altar sesembahan..
kupaksakan lagi kata-kataku
sudah beberapa tahun ini, kubiarkan jemariku jauh dari kertas
kubiarkan mataku tak menatap langit
kusembunyikan tubuhku dari hujan

percakapan itu, serupa bilah
tajam
kita menyepakati apa di katakan takdir
kita mengiyakan nama perpisahan
senja itu, dimana jiwa tak lagi bisa kuingkari
aku menangkap bayangan cinta menjadi abu
ya...

dan kini, sekali lagi
suara bariton itu memanggilku
seperti menyebut namaku

dan sekali lagi puisi itu menari lagi
seperti senandung yang siap menjadi tetabuhnya

...

"Nay, nay....."teriak Ria lihat ini
sebuah artikel ditunjukkannya

Tentang sepi itu, Nay
sepi yang menidurkan mataku
sepi yang mengajarkan banyak hal. Entah kejauhan, entah tak berjarak
aku kerap menemukanmu; pada segala ingatan, luka pun canda

kabari aku
secepat apa bayangmu tiba
menyentuh pejam, meski dalam harap terjauhku
"Kau ingat Nay, ..." kata Ria setengah berbisik ditelingaku
Aku mengangguk...
"Dan kau baca baris terakhir.." bisiknya lagi
...
...

Perempuanku "Di"


Tercekat, bibirku beku
Aku benar-benar menjadi perempuan bisu hari ini

Malam ini, diantara dua jendela dan bulan
diantara kertas dan pena, aku menulis puisi.

Jarak...
Apakah tuanku sudah kembali
dimana dia
seperti mantra
nafasnya kucium dari sudut semesta

Jarak...
akupernah menitipkan rindu pada angin laut
sudahkah kau kabarkan?
lalu, kemana?

Aku pernah dipertemukan
kemudian dipisahkan fajar, kau ingat
aku balita mungil yang manja
yang takut gelap, meratapi sepi
aku hanya bayi sungai yang tenang

Jarak...
apakah kau mempermainkan ku..
apakah kita tak bisa lebih sejati dari sekedar haus

Jawab!
ketika cukup lama aku menghitungmu, menikmati tiap detik adamu dan menyiapkan ketiadaanmu

Jarak...

...

Sengaja, aku menikmati senja sendirian
Barisan burung gereja berjajar rapi
"Baiklah aku ingin menikmati senja dan menunggu kepakan sayap terakhir untuk pulang." kataku sendiri
kemudian  aku diam,
dan langit tak merekam keberadaanku sekarang
kupejamkan kedua mataku, "Aku rinduu..."bisikku lirih

Bintang Jatuh

pernah dengar mitos bintang jatuh, Nay
bintang mahligai cahaya yang menaruh satu mimpi di bumi. Tentang tumbuhnya sebuah harapan yang dikawal hangat sunyi

aku pernah menaruh kata disana, lebih mistis dari syair, lebih sederhana dari doa, lebih cepat dari degup dada
aku merangkai bukan sekedar dari matamu
bukan sebab tangguhnya kesepian yang tak mampu kutaklukan, lalu mengikatku dibawah lorong bulan

aku hanya menatap sebuah hening, dengan sayap-sayapnya bercahaya. 
Menutup semua isi benakku

bisuku bicara
rapuhku bicara
bayang-bayangku pun bicara
hanya lidah yang diam, tak menyimpan kata

Pernah dengar mitos bintang jatuh, Nay
itu jantungku

saling berderit
ketika diletakkan pada musim yang sama
yaitu kata-kata



"Nay.." suara bariton itu terdengar lagi
tanpa membuka mata, kubiarkan percakapan imaji itu

"Di..." akhirnya aku menyebut namamu...



(buat Suma Aji, maaf petika puisimu kuambil lagi, untuk yang kesekian kalinya...terima kasih)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar