selamat pagi...
hei
aku menyapamu
entah, pagi ini aku ingin romantis
membuka jendela, berdiri menatap bulan yang sebentar lagi pamit
pena, gelas kopi sisa semalam dan selembar kertas bergambar kita tergeletak begitu saja dimeja
semalam aku mengingatmu,
mengeja kembali jarak pertemuan
menulis bagian-bagian yang aku suka
tentu aku yakin disela waktu yang kau bawa
ada sekeranjang kenangan yang akan kau ingat
hei..
kita masih adam dan hawa kan?
itu yang kerap menjadi pertanyaanku
ketika matahari tergelincir menuju fajar
kemudian menyerahkan semua pertanyaan
pada kerinduan dari tempuhan semalam
seperti inilah, kita sama-sama meringkuk terseok menjalani rindu
sementara membiarkan semesta begitu pasrah pada musim
serupa angin dingin
kita tak pernah diam sesungguhnya
menanti geliatnya fajar
menanti tetes hujan mengendap menjadi butir embun
bias kaca jendela
tertulis sebuah nama
kemudian aku menghapusnya
ah..bukan, ini karena hujan begitu deras
kita terlalu bersajak,
terlalu berpuisi
kita terlalu sempurna untuk kisah pagi
rentangkan jarak dua jiwa
pada pupus suatu perpisahan
berkali-kali lepas
berkali-kali asa
sepi memilah diam
saling mencengkram
saling menggegam
tuan,
begitulah aku mengingatmu
pada puisi
tapi bukan ucap
karena yang kau pahami
aku bukan perempuan banyak bicara
dan kupaksa kau tersenyum,
ya...aku hanya perempuan dan kata-kata
hei
aku menyapamu
entah, pagi ini aku ingin romantis
membuka jendela, berdiri menatap bulan yang sebentar lagi pamit
pena, gelas kopi sisa semalam dan selembar kertas bergambar kita tergeletak begitu saja dimeja
semalam aku mengingatmu,
mengeja kembali jarak pertemuan
menulis bagian-bagian yang aku suka
tentu aku yakin disela waktu yang kau bawa
ada sekeranjang kenangan yang akan kau ingat
hei..
kita masih adam dan hawa kan?
itu yang kerap menjadi pertanyaanku
ketika matahari tergelincir menuju fajar
kemudian menyerahkan semua pertanyaan
pada kerinduan dari tempuhan semalam
seperti inilah, kita sama-sama meringkuk terseok menjalani rindu
sementara membiarkan semesta begitu pasrah pada musim
serupa angin dingin
kita tak pernah diam sesungguhnya
menanti geliatnya fajar
menanti tetes hujan mengendap menjadi butir embun
bias kaca jendela
tertulis sebuah nama
kemudian aku menghapusnya
ah..bukan, ini karena hujan begitu deras
kita terlalu bersajak,
terlalu berpuisi
kita terlalu sempurna untuk kisah pagi
rentangkan jarak dua jiwa
pada pupus suatu perpisahan
berkali-kali lepas
berkali-kali asa
sepi memilah diam
saling mencengkram
saling menggegam
tuan,
begitulah aku mengingatmu
pada puisi
tapi bukan ucap
karena yang kau pahami
aku bukan perempuan banyak bicara
dan kupaksa kau tersenyum,
ya...aku hanya perempuan dan kata-kata
Tidak ada komentar:
Posting Komentar