Senin, 01 Juli 2013

Kisah kita berdua penyuka kopi

Sekarang detik jam terlampau cepat
jarum jam mengarah ke jam sebelas lebih tiga puluh menit
hampir dekat dengan malam yang pekat.

Malam ini peraduan singkat
membawa kita pada waktu yang berjarak
"Lihat langitnya ..?" tanyamu dengan suara sedikit berteriak
aku tersenyum, sembari membayangkan apa yang terjadi pada kerling bola matanya
"He he he .."
Tak terasa kopi expreso ditanganku menjadi dingin.
kita berdua ini penyuka kopi ya...

tapi dia lebih suka kopi dominan coklat dan aku lebih pekat

"Kamu lagi ngapain aja sich..?" tanyanya mengagetkan aku
"Eh, iya...iya...kenapa?" jawabku berbata

Sejenak kita terdiam, memcoba memadankan posisi kita dalam lamunan
nafas panjang terbuang terdengar hampir bersamaan..

Hhhhhhhhhhh....

"Tuh kan..kita berkhayal suatu keadaan yang sama." pikirku dalam hati

Satu bintang Sirius, itu kamu. terlihat berkelip terang di langit hitam
paling terang, bintang paling terang di antara bintang jatuh...
(sedikit gombal waktu itu, tapi dia terlihat senang)

"Setelah ini adakah makna rindu untukku?" tanyaku untukmu

Bukankah rindu tak mengenal waktu
dan aku punya cukup banyak waktu untuk menyiapkan semuanya

Aku terdiam, pelan berdiri dari tempat dudukku
meraih expreso dingin di genggaman,
"Kau masih disana?" tanyaku sekali lagi

Lampu-lampu dari gedung gedung tinggi dimatikan,
juga lampu kafe-kafe redup pun padam
terdengar suara pelan once dealova
memenuhi gema ruang tak berjendela,
di sudut kamar yang terbuka
: itu kamarku

Malam pucat,
Aku membiarkan telpon genggamku masih menyala
kutulis selembar puisi untuknya..
puisi terburuk ku

"Aku tak sabar menunggu hari itu
hari diantara penyatuan nafas kita
dari aroma hidup atau bahkan kematian selanjutnya
aku tak sabar menunggu waktu itu
diberikan waktu untuk menggila
untuk menyesatkan nya pada limbung raga
dan itu karma.
aku tak sabar menunggu hari itu,
membawa ransel kumalku
berjalan menujumu, kearah dimana hatimu pasrah
aku tak sabar menunggu itu...
adindaku"

Kulipat selembar berpuisi itu,
menjadi perahu kertas dan kulayarkan
bersama gerimis yang baru saja menyemai
kubiarkan terurai..
dan aku beranjak pergi,
kumatikan ponsel di genggamanku.
berlari ke arah tenggara dimana kau berdiri mematung disana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar