Jumat, 14 November 2014

RAIN

Senja
hujan
dan perasaan?

hujan
senja
di hari ke tujuh bulan november

selamat hari senja,
pria bermata hujan
seribu gerimismu datang
menetes diam diam
di ujung sepatuku

saat aku
dan wajahku
terbuka di dalam jendela

seperti kicau burung gereja
yang telah jatuh cinta

selamat hari senja,
kutemani jalanmu
meski hujan memekik
merayakan suka
luka
merayakan cinta

Rabu, 29 Oktober 2014

Bangunkan aku... Janji!

dan bangunkan kembali aku, janji..
seperti tak lelah senja membisikkan kata-katanya
redup..pasrah
seperti makna bahagia pada sebuah kecupan
kita enggan untuk membaginya
(aku tersenyum)

selalu ada yang benar disana
diujung kota kedua matanya yang purnama
harapan adalah waktu yang kerap membangunkan
dari benar, rindu dan kesungguhan

bukan tentang cinta
bukan pula tentang hati
tentang pinta yang dijatuhkannya
pada sematan matahari
kuselipkan benihnya
seperti aku memberi nama pada sebuah judul cerita
dalam....sangat tenang

(aku tersenyum)
mencintaimu...adalah diam

Tanya bertanya

mengapa?!

lagi, akhirnya ada perjalanan kecil yang membuat aku terikat
senyum sumringah, kala bait-bait sederhana mulai terumbar
dari lagu atau sepenggal sajak

tentangnya sang pembuat ceritalah saksinya
dan aku terima

aroma lelah telah menutup kegelisahan
dan terbaca lewat ciuman bibir
dan kau menunduk dan malu

resah.

Memahami

yang aku pahami
ketika cinta memberiku rasa bersalah

seperti setangkai ilalang yang telah habis terkikis penantian hujan
aku hanya ingin menjadi sejatinya kehadiran tanpa perpisahan
begitu yang sempat kubaca dari kedua matamu

lalu aku bertanya, apa yang kau tulis?

dari sepanjang koridor waktu ada luka yang begitu berharga
ada pedih yang habis untuk di tangisi

membaca dari langkah jenjang kakiku
senja itu...

aku hanya harapan dari sebuah kata kata "iya"

10 > 10

pukul sepuluh dari tiga tahun lalu
puisiku,
bagaimana kabarmu?

hanya sekat lima menit dari yang tersisa

satu pinta, sebelum satu kereta membawamu
"cinta akan mencarimu, seperti cinta pula akan menemuiku"

pukul sepuluh dari tiga tahun lalu

Kamis, 23 Oktober 2014

Boleh Kusimpan Rusukmu..?

Aneh,
ada satu detik dimana aku mati-matian memohon,
jangan hiraukan kepergian
lalu beberapa kali kosong menyambangiku

seperti kalimatmu...
dan biarkan kita bermain diatas mimpi kepedihan
menganyam luka seadanya
menukar tatapan pada langit sunyi

seperti luka yang kutoreh terhadapmu,
begitulah kepercayaan .."terlalu pedih, sayang" ucapmu tertahan

benar, kukatakan padamu
aku pernah mencarimu
kepada malam yang dijinakkan fajar
aku mungkin dusta yang tertampar

sampai kita rela bertukar curah
sampai langit melumat habis pita senja
dan aku harus terima, hati mana yang akan kau jaga
Boleh kusimpan rusukmu...? ujarku

SUMA

Dalam hitam putih, aku terpaut
mematuki sisi jalanku
separuh senyum, kau tunggu
separuhnya airmata, tetap kusembunyikan
maaf, aku hanya ingin berkisah tentang sepasang angsa yang bercanda di bawah bulan
lalu kau simpan bisikannya
”aku tak percaya, ketika luka dapat kau jelma menjadi puisi indah yang kau bacakan setiap saat, sebelum aku pergi tidur”
tak apa, aku hanya sepotong impian yang terwujud dari senyum-senyum kecilmu
terbang membulat
menaburi binar, sepi yang kau miliki
aku, napasmu
-sas-

Rabu, 22 Oktober 2014

puisi SAS


Jika cinta salur keindahan erotis di atas lekuk pelangi
aku mempercayai cinta adalah hujan, 
serangga kecil yang bersembunyi dibalik daun dan gugur bunga jambu
dan biarkan kita bermain diatas mimpi kepedihan
menganyam luka seadanya
menukar tatapan pada sunyi langit
cinta mungkin ladang mendung ditengah malam, ketika para penyendiri melantunkan syair puisi, yang menggantung di pelupuk redup
cinta mungkin juga hujan yang kumaksud
membelah sepi
mengubur cekam dalam pejam
membiarkan puisiku jatuh, tak mampu kutulis lagi


-sas-

Semoga Kau Bahagia

Semoga Kau Bahagia
akhirnya malam ini aku mengingat sebuah kelahiran, berkawal jarum jam dinding yang begitu dingin
mungkin terlalu lama tersimpan dalam kepenatan gerak mataku

aku tak ingin ada harapan yang harus kita singkirkan dari berpuluh-puluh bayang lilin
yang kau hembuskan dari beku bibirmu
lalu musnah menjadi tatapan jauh

mungkin kita hanya butuh sebuah kehadiran dari penantian-penantian panjang yang kerap kita tulis berlapis-lapis di tengah malam
sekuat keinginan berada dalam pelukan yang membenak

malam ini, jadilah satu kerlip dari jutaan gelap yang berjatuhan di mataku
agar kutangkap hadirmu
dalam hangat puisi

*darinya S

Rabu, 16 Juli 2014

DI STASIUN SUNYI



Di stasiun sudut kota
kau menguapkan ikrar diatas abu-abu
menjadi butiran debu

dari sudut langit yang hitam
helai air mataku lepas
jatuh bercecer diatas jalan-jalan basah

Di stasiun itu
kau keluar bersama aroma tubuhmu yang hujan
menyimpan rahasia roman
"Sstt...!" bisikmu sesyahdu bayu

tidakkah aku hanya sebuah rindu yang tak terbaca
dari lengkung maya matamu?

jatuh aku ditepian sunyi
secepat lengang stasiun itu
sebelum hela nafas hilang
tak berpesan..juga tanpa ciuman.

Minggu, 13 Juli 2014

HAMPIR SEPEKAN

hampir sepekan, kita lupa caranya mengeja kalimat romantis
kabar kita tercekat hilang, tanpa ruang pembatas
tak ada yang bisa di ungkap selain diam
tak ada kalimat yang bisa diwakilkan selain kerinduan

hampir sepekan, kita menjadi tuna wicara
kedua bibir kita terkatup
menjadi file-file yang terekam rapat menjadi rahasia
tak ada yang kita punya selain berpegangan
tak ada detak yang terurai selain suara kita lantang memekakan

"jangan pergi..!" kata jari jemari kita
mereka berpadu saling menarik kuat
tak membiarkan genggaman kita jatuh

"bukankah tak ada yang lebih megah ketika mereka membaca cerita kita?"
kata kedua mata kita, meski dari balik sudutnya ada lipatan masa yang tak pernah berhenti menggulungnya...
meski disudut kerut tersimpan rindu yang satu persatu harus luluh...

sampai suatu ketika, lebih dari sepekan..
kita lupa cara melepaskan, dan tak akan lupa cara mencintaimu.
menjadimu dan punyamu.

Dan paragraf begitu singkat,
aku menulis cinta pada bekas luka, dan engkau disana tabah menyusun huruf demi huruf yang tereja.
Sampai narasi bahagia adalah akhir sebuah cerita yang bersahabat disela rindu sampai tunduk kepada air mataku.

Aku Sebuah Kenangan

di meja ini aku seperti mu
melihat garis bentang kota yang bertaruh atas nama rindu

kita adalah anak-anak hawa yang dilahirkan oleh cinta
meskipun kelak mimpi menuntunmu untuk beranjak pada tiang dermaga

mungkin hening telah merubahmu kepada sosok angkuh
sang pengembara, sampai engkau benar-benar buta tak membeda arti cinta

Aku!
adalah angin yang monoton menunggu
disebuah dermaga kecil, menunggu mata layar sampai menemuiku
dan aku adalah, kebisuan yang begitu lengang ditanganmu
sampai kenangan melambat, tak tau caranya terselamat.

BERKHAYAL!


Berkhayal!

Aku pernah terbunuh pada suatu peristiwa ketika aku terlalu asik menyimpan rahasia.
Sampai engkau tak pernah mengingatnya, dimana kecupan terakhir kau daratkan....





KITA 2 LUKA


Kita berdua tak ubahnya seperti dua luka yang belum mengering yang mungkin ketika kita sama-sama terpejam, luka itu masih jelas nampak. 

Luka yang tertulis pada sebuah jarak...

Jumat, 11 Juli 2014

Peromantis

Kamu penulis Di...?

Bukan aku hanya peromantis

Takut

ada yang paling kutakutkan selain aku takut kehilanganmu,
 
ketakutanku bertambah ketika nanti kau tak lagi mencintaiku

Kamis, 10 Juli 2014

Di...

Di, apa yang kau inginkan dari ku?
tak menjawab.

Hai, Di....
masih tak menjawab

Seringkali aku ingin pergi berdua saja denganmu
jauh...sejauh mungkin
melupakan darimana aku
sering juga aku tak ingin membicarakan hal-hal yang serius
seperti politik
siapa pemimpin negeri dan tetek bengeknya yang memuakan
sering juga aku berkhayal memainkan imaji tertinggiku
duduk berdua
santai saling menggenggam minuman hangat
kau dan kopimu yang sedikit gula
dan aku dengan susu kopi kesukaanku

ahh..tapi itu terlalu muluk
aku tak meneruskan kata-kataku

lalu kau minta apa?

Kau tau,
aku hanya ingin sederhana saja
lebih dalam mengenalmu
it's simple ...
sederhana cukup membesarkan hatiku.

Rabu, 11 Juni 2014

JANGAN LAGI

Jangan, sekali lagi jangan...

Sebagaimana malam disana,
adalah tempat kita pernah bercengkerama
ketika tiap orang sudah berkanjang pada ruangnya masing-masing
kita seperti perjalanan siang yang gaduh

Rak kecil tempat biasa aku menyimpan buku masih terbuka
Seperti ada yang masih membuka dengan tulus kisah yang kita sembunyikan
Dimana tiap huruf adalah hati.

Sepi, gelap perlahan menulungsup pada langkah kita yang diam,
lalu...melontarkan kita untuk tetap tinggal di peraduan

Jangan sekali lagi jangan.
Bukankah airmata ini adalah ramuan, yang membuat cinta kusimpan baik-baik
meski sudut hati selayu luka.
Jangan, jangan biarkan ini tumpah...
kau tau artinya,....ahh, aku yakin kau memahaminya
suatu ketika nanti butiran ini terlalu lelah menampakkan diri,
maka aku akan pergi.

DITINGGALKAN MENINGGALKAN

Hidup ini memang tentang meninggalkan dan ditinggalkan
Akan ada cara dimana bisa lepas sekuat genggamanmu.
Yup....
Seperti perempuan pada satu taman
Begitu tabah merayakan kehilangan
Bukan dengan lontaran kembang api,
atau menerbangkan balon-balon ke udara..

"Aku terlalu letih, pada asa yang senantiasa kucari lekuk sempurnanya,
Dimana lekuk terindah sebuah cinta bersembunyi?
Dipuisinya, didalam dompetnya atau dilemari tempat dia menyimpan kemejanya?"

Tapi nek, bukankah itu sebuah kesetiaan?
tanya seorang gadis muda

Iya, kesetiaan yang tak cukup berani dikatakan
Berharap memiliki keberanian untuk menjelaskan,
bahwa sesungguhnya mencintainya lebih takut untuk suatu kehilangan dirinya.

Gadis itu menggenggam tangan perempuan itu renta itu.
Ada yang membuatku gemetar.
"Entah berapa puluh tahun lagi aku bisa
membaca sebuah kesetiaan,
Ketulusan yang kerap ditulisnya
tersimpan rapi disebuah kotak kayu ukiran", gumamnya dalam hati
Mau diapakan ini, nek.... kata gadis itu
membawa kotak kayu berukir

Mata perempuan itu menerawang,
Aku sanggup bertahan, meski mungkin nanti satu kepak akan menyeretku kedalam takdir. Kemarin dan hari tadi aku telah memintal aksara tanpa jemu, memilih sajak-sajak tilawahku.
Dan akhirnya kerapuhankulah yang bebas menari bersama keangkuhanku sendiri"
Jadi ambilah.
Buka dan bacalah.
Aku akan mengukirnya pada karang-karang dipantai,
pada batang pohon jati, berharap suatu nanti akan terbaca dan abadi

***
Ada hari dimana engkau akan sendirian
Mendekap bayang nun jauh berjalan
kadang gaduh
Kadang menangis
Kadang tertawa
membuncah, menulikan pekak telinga

Lantas, kau tak melihat airmata mengapung dikelopak mata..
Seperti mendekap siapa, aku lumpuh
Seperti menggandeng, aku hilang
Seperti memeluk, aku lenyap

Kini,
Ketika rindu menjadi tajam
Bibirku akan membiru
Kelak kulit ku menggembur
Dan cekung mata menjadi lebar

Aku hanya sepenggal kisah
yang tak bertuan.


* satu lembar puisi yang nenek simpan

Tertanda, DIBA

Jumat, 30 Mei 2014

SELAMAT TINGGAL

kau ingat puisi yang pernah kita agungkan
pada derasnya hujan disenja itu
sebelum kita pamit untuk meninggalkan keteduhan
kemudian menyertainya menjadi doa pengabulan

"akhirnya kita sering menangis kan.." katamu berujar sembilu
bukankah akhirnya kesedihan ini akan membawa kita kenikmat doa-Nya.

sikapmu tenang seiring dengan menghadapi luka dengan caranya

setiap kali aku menyapa luka, kau beri setenang jawaban di atas luka
seperti angin menyentuhku, merangsek pada lubang poriku
Kau tau?

aku begitu ingin memahami makna yang terkadung pada bait puisimu terakhir kali
ketika sebelum tangan itu terulur melambai

SALAM UNTUKMU PRIAKU

salam untukmu, pria yang terkubur oleh sunyi
pada pertengahan purnama
sepasang kata bersayap terbang mengisi
kota pos kita

ada ucapan harap yang menyeret-nyeret dilema
seperti penantian musim hujan yang kerap mengguyur halaman rumah kita
membasahi rumput dan pagar bambu kita

menulis sebuah puisi,
mereka membedah makna yang terkandung lama rahimnya
siapa itu? aku? atau apa makna tulisan itu?
kemudian pipi mereka merona

salam untukmu, keberadaan pria yang bergumul dengan sepi
pada rahasia yang tak sengaja kutulis kecuali dirinya.

PEREMPUAN HENING


dia masih perempuan yang hening
begitu rapi memijaki ilalang yang basah oleh hujan
dia masih sangat terbaca,
oleh karangan bernarasinya

Maaf, aku tak bisa menerka ini kejujuran atau sebuah kebohongan,
ujar kekasihnya...

Melihatnya,
seperti melugaskan kalimat-kalimat yang tak tertulis,
sedangkan dengan matanya engkau bisa memahami yang tertahan didesah nafasnya
yang tak tertulis oleh tangannya.

perlahan,
biarkan dia menyelinap meninggalkan kebijakan lembut yang begitu peka
dihatinya,
begitu istimewa
sampai suatu luka menjadi sembuh karena pemilik-NYA.

perempuan hening itu
tersesat kembali dalam doanya

BIAS YANG TAK SENGAJA DIUNTAINYA

mantra hujan, nampaknya masih tak rela untuk meninggalkan keteduhan
baginya seperti iringan keinginan yang disertai terkabulnya doa
pada ucapan buih kecil,
pada tetes bias yang tak sengaja di untainya
pada kuyup deras yang diguyur ketabahan

aku ingin menerbangkan,
menyusun sedemikian rapi menjadi kepulan doa yang membumbung tak berkesudahan
serupa takdir yang begitu misteri tak terkalahkan oleh siapapun, kecuali empunya catatan-Nya

APA YANG TERJADI DENGAN HATIMU? PATAHKAH?

Gerimis kali ini datang dengan begitu sopan?
"Apa yang terjadi dengan hatimu? patahkah?..

Aku tak langsung menjawab,
mencarimu jauh kedasar hatiku.
"Tak akan pernah menjadi hancur, atau tak kan pernah menjadi serpihan kecil
akan tetap berada di tempatnya, menjadi awal dan akhirnya'
meski perjalanan kadang tak segampang tulisan, dia tak hilang, sesungguhnya dia baik-baik saja
dan akan selalu begitu"

aku dan sedikit kemampuanku yang enggan menulis

Kamis, 29 Mei 2014

ELEGI KERINDUA

kursi taman,
dan sebuah lampu redup disampingnya telah terlalu renta

sebuah ukiran nama tertera
pria dan perempuan sepi bergantian mengutarakan makna

aku datang menulisnya, kekasihku..ujarnya sendiri. kemudian pergi

aku datang membacanya kekasihku, jawab pasanganya dikemudian hari

seterusnya. mereka sama sama tak melihat berapa puluh lingkar purnama dilewatinya
sampai..

satu musim, membiarkan perempuan itu duduk sendiri di sebuah taman kering..

aku tak lelah menuliskan sisa nama yang kukenali, itu seperti sebuah permintaan maaf kepadanya, itu seperti meraup jutaan gemintang untuk kuumtai menjadi jubah ketabahan
ohh...biar tubuhku kaku, biar jantung menciut dan tulangku repih menjadi debu, dan lahat menanti abadiku. aku tetap disini, kursi taman dan tempat kelahiran sebuah puisi tak akan kutanggalkan

disisi kota lain
pria itu juga demikian, mati di keabadian sebuah puisi

MENINGGALKANMU

dan aku kini hanya sepenggal doa yang tak teramini
jauh dari kehalusan yang akan membawamu kembali
aku hanya sebuah luka yang menganga tak pernah mengering
pada suatu perih dari keberadaanmu

singgah dan perjumpaan mengajariku banyak hal
mengurai tiap bait kesepian
untuk kulisankan pada tutur yang kumaknai sendiri
hening juga membawa kejujuran terbungkus jubah keterpak
membawamu untuk terbuka

"pelan-pelan saja," pintaku menyeka air mata

perpisahan mungkin adalah perjalanan yang tak pernah teringini,
tapi kita akan mencoba menikmati perih,
membaca karma dari suatu kehilangan
tapi jangan menyerahkan semua pada pemilik-Nya
ada harapan yang kemarin tak termakbub

meninggalkanmu mungkin suatu kebaikan, meski bukan kebajikan
menyerahkan segalanya
menentukan dari apa yang pernah kusembunyikan
semoga kau mampu menerima
merangkai tiap peristiwa seperti apa yang ditasbihkan
tapi yakin bukan untuk Dia ...

"dari segala maaf, kau telah membaca catatan terakhirku"

Rabu, 23 April 2014

Bagaimana ketika aku memulainya dengan sebuah kata maaf...

Bagaimana ketika aku memulainya dengan sebuah kata maaf...

Tentang gerimis yang terlalu cepat mengurai luka,
menyibak sekelumit rahasia yang disembunyikan mendung

Aku menatap kembali yang menjadi cerah setelahnya, tapi kini tanpa pelangi...
yach.. warna apik darinya dan memudar lamban

"jangan teteskan airmatamu?" pintamu, seraya
menyapu sebutir airmata dari sudut mataku

cinta terlalu berat untuk dipahami, cinta juga terlalu pedih untuk dijalani...
"Sstt...telunjukmu menghentikan keluhku
Aku tak meneruskan kembali , kali ini hanya bisa diam

saat aku berjalan berjingkat, menyusuri padang harapan
disana tempat rindu bertabur pasir luka, mengikat bahkan menjerat
aku kerap bertanya, apakah aku harus melawan atau menawannya?


pelukan ruh begitu akrab kita kencani,
seperti langit menyaksikan awan berarak memejah warna gelap yang berjelaga

Ssstt...sekali lagikau letakkan jemarimu
diatas bibirku

...lalu taruhlah luka dan terbitlah bersama sayap-sayapmu.

"Jika tak keberatan, aku hanya ingin kau mau berbagi lukamu. Setidaknya aku berharap kau tak terlalu sesak untuk memeluk kesendirian" bisikmu

Kau bergeser disebelahku, matamu perlahan menerobos mataku

"aku hampir tak percaya hari esok" jelasku kosong

"Sst..jangan menghakimi waktu" jemarimu merengkuh pelan jemariku
Sedikit lebih erat kau genggam

"Lihat aku"

aku pun menatapmu dengan berat

"Kau percaya Cinta tak pernah memilah. Ia berada pada ruang yang begitu suci. Bergerak halus menuntunmu"

aku diam

Ini hidup, Kiya!

baiklah, Kiya
aku terlalu letih untuk menjawab semua pertanyaanmu
hujan yang terlambat datang, gerimis yang terlalu singkat turun ke bui, tentang pelangi, belum lagi tentang senja yang berwarna merah saga..

kau ingat Kiya,
bagaimana aku pertama menyawapa dengan rupa asliku,
bukan rupa yang sejurus dengan penipu
dan kau tau agaimana ekspresi yang kau berikan kala itu...
hahaha....satu alismu kau angkat apik, simpul heranmu.

Kiya, kau hebat
layaknya penulis diksi, kau bersembunyi disisi pelarianmu atau pencarianmu,
kau hebat, begitu eksentrik bahkan menarik,
kau penulis yang membangun duniamu sendiri
belahan yang begitu membuatku takjub
meski aku berangsur melihat kotak pembuanganmu
ya...rasa sedihmu

kau ingat Kiya, ketika tangisan pertamamu pecah,
tangisan itu adalah kekahwatiranmu.
dan aku menyarankan,..
berlarilah kearah hujan, rasakan bagaimana hujan menyapu air matamu dan biarkan tubuhmu basah karena itu
seperti hujan memelukmu pekat sepekat pelukan sayang kekasihmu.

baiklah Ki,
sekarang kita bersulang atas kenikmatan hidup.
hidup untuk menyayangi dan disayangi, hidup untuk bahagia dan membahagiakan
dan kita butuh alasan untuk itu...
Sangat simple, Tuhan mendatangan mereka untuk alasan yang baik
taruh saja sebuah kalimat..
"Tuhan pasti menyayangiku.."
dan sepenggal hidup adalah seperti sebuah dlama dan kau adalah pemeran kehidupanmu sendiri
dimasa datang, dimana masa yang telah menjanjikan...
dan Tuhan menjamin itu, kiya.

Baiklah, Kiya
singkatnya.
Yakin pasti Tuhan menggenggammu.!

Kamis, 06 Februari 2014

Lalu aku tersenyum, membacamu

Ketika kau mengatakan
"Aku perapian kecil dari seluruh ketakutan sepi"
Mungkin aku akan menjadi tungku kekosongan digenggamanmu
seperti sepercik jenuh yang berkilas pada satu harapan
sebuah asa kecil, yang menjadi mimpimu

Ketika kau menulis
"Aku puisi, aku segala kabar dari kepergian yang tak terungkap
aku lelehan senyap dilorong matamu
aku patah yang tak berbaca"
Mungkin aku akan akan menjadi sapaan rahasia
seperti ribuan serangga yang menyapa malam
membawamu terbang melintasi batas lamunmu
atau aku akan menemanimu seteguh bulan
yang bertengger seanggun cinta

Dan ketika kau menjadi puisi yang tak pernah ada
Mungkin kuibaratkan engkau menjadi sebutir hening
diranting kesunyian
seperti setipis rindu yang tersemat
dalam tiap gores puisimu

Dan kau tau,
Sepihak dengan puisimu
Aku mengatakan padamu pria yang terpaku menatap kalut
Bahwa jadilah genang pada usai waktu
Pada tulus dan pada tiap patahan cinta

Lalu aku tersenyum, membacamu

KAU TULIS TENTANG AKU

Aku punya batas tak sempurna sayang...
karena sebagai manusia
aku tak mampu menebus
batas kata dan batas doa

Seperti aku pernah mengucap
dan terjatuh
pada perayaan kesombongan yang aku gelar
meski kadang menyakitkan
mereka yang mendengar dan melihat

Pada ujung runtuhku
kadang aku terlalu menikmati puing-puing
menikmati pekat kusutnya
sesal yang diciptakan air mata

"Aku tak bisa menyembunyikannya..."

Kemudian kau tulis tentang mataku,
tentang aku perempuan yang kerap melewatkan sepi
dalam pelukan rindu yang telanjang
tentang begitu maksiat coretan asa,
jiwa bahkan aku fulgar tak bisa menutupinya

"Sekali lagi aku fulgar kesedihan..."

Kemudian aku mengenalmu,
kau tulis tentang aku,
betapa dosa pernah memandikan raga kita
menjadikan kita humus, menjadikan kita
basah seperti telaga yang menganga
tanpa satu mahlukpun bermain di sana

Kemudian kau berusaha mengakhirinya,
segalanya dengan manis,
semanis bait suci
seindah keheningan yang merampas luka.

Badai senja, petang dan malam
membungkus jejak kepedihanku
dengan selembar kertas yang tertulis romantis
"CINTA"

"kau harum, kukecup perlahan
tulusmu
"Aku akan mengukirmu", perlahan kuletakkan catatanku
menujumu

GERIMIS

Sudah berapa kali gerimis tipis menyapaku ketika senja
sepertinya dia memahami arti sejuknya...

Aku tunduk memahaminya


PIJAR

Demi detak terakhir, yang luput ku kalimatkan,
langit memikat, dua bintang berjatuhan

"Biarkan mereka, aku hanya ingn melihat dua bintang kelelahan. Kemudian kutinggalkan kecupan sabda mahacinta, biarkan kembali hidup dan nyata akhirnya"

*pijar

Kau tak sampai, cinta.

Luka melintas langit malam..

Mendung, sepi
adalah biduan kerinduan
menjelma kata yang hampir mati

Kau, menyapu debu,
diantara dingin musim,
berjingkat, letih
"Puisimu adalah ayatmu"
kelakarmu memucatkan kalbu
Tak ada tangis yang pendam
melainkan hujan yang begitu mencabik.

Sementara
Dia mungkin merekam kekacauan kita
tak menyisakan perjalanan menjadi sempurna
Kau tak sampai, cinta.

SEPERTI ITU, AKU

Seperti lirik itu,
aku terjebak dalam sebuah frase yang tak bisa menembus batas kebenaran

"Relakan," ucapmu

Seperti nada itu,
aku dan runtuh pada masa lalu
rubuh, diantara puing

"Aku tak menyalahkanmu?" katamu

Seperti surat itu,
aku tak sempat melewatkan keheningan bersamamu
menyulam coretan-coretan indah

Seperti syair itu,
aku tak bisa menyembunyikan kepergian...

ADA YANG MENCARIMU CINTA

Ada yang mencarimu, Cinta..

Dibalik selimut tebal yang membungkus,
terbias dari sebuah wujud yang sebut saja raut,
menemu dilingkar pinggang yang sexy

Kali ini ada yang mencarimu, Cinta..

Tidak bergerak, hanya bertutupi senyum dilancarkan
Sapa menyisir disemenanjung harapan

Aihhh...

Ku diskripsikan saja,
dan kuceritakan apa saja.
Aku yakin setiap pori dinding
merekam.

Kami tak lebh dari sekedar dahaga. kami tak lebih dari sebuah prosa yang
terlalu ringkas untuk dicerna.
Kalimat kami tak manis, hanya sedikit romantis.

Ijinkan aku mengecap wangi diperhentian mimpimu,
aku akan menantimu di tepi ranjang.

"Kau yakin kau akan menanti?" ucapmu memastikan

Kita dipertemukan malam
Bahkan pernah menjadi saksi subuh
Ketika embun pertama di lelehkan
dan fajar dilahirkan..
Kita pernah menebarkan ranumnya sebuah kasih
Perkasih yang pernah menjadi kandas!

Sudah, jangan ingatkan itu.

Angin menitipkan satu pesan, ketika kau priaku
menjauh,

Kupunguti setiap napak tilasmu
kuberi nanti, mungkin...
Padamu sebingkai ketika bertemu.

DEK..

..Dan malam ini seperti sebuah sabda yang tercatat pada bait bait suci..

Aku adalah ruh yang ditinggalkan luka, pada haribaan sebuah kata setia berairmata, menunggu sepuh dari tangan bidadari.

Aku adalah ketiadaan yang membawa sakit, di ujung penantian yang ku simpan pertemuan,

"Bawalah buah jemariku yang ku sebut puisi, dek.."

Malam, langit berkisah, gemintang lantak menggemakan sastra.
terkutiplah sajaknya..

Di Tempatmu Berbaring Sekarang

Aku lihat Pilang mencium Kukila, kemudian membagi juga bibirnya untuk dicium Tumbra, dan terakhir Kukila mencium suaminya, sebelum ketiganya saling erat berpelukan.
..
Mereka bertiga berpelukan sambil mengucapkan perasaannya masing-masing sebelum satu persatu memanjat lalu melompat dengan tali dilehernya.
..

Bukan, bukan itu yang membuatku menangis.
Tetapi ketiganya dengan jujur saling mengakui cintanya masing-masing tanpa saling berselisih satu sama lain. Itulah yang membuatku menangis

Cerpen, Di Tempatmu Berbaring Sekarang : AAn Mansyur

UNTUKMU, Puisiku

Segenap mahluk akan meratapkan sesuatu, mereka akan kembali pada empunya,
mereka akan berada pada pintu-pintu dan jendela, tak terkecuali cinta.

Dan aku menjunjung kehadiran cinta, bahwa aku tak pernah sedikitpun menjadi sesuatu yang menakutkan bagi cinta, bagi hati yang memaafkan cinta

Untukmu, puisiku
: kau yang mengajariku arti kehilangan

Hujan belum berkemas,
sekawanan burung kecil sembunyi dalam rimbun dedaunan
Angin membawa kencang
sejenak membawa rintik gerimis semakin meradang

Seorang perempuan hidup
bersimpuh dipersimpang
merengkuh tilas sebuah kenang
diam..
hening...
gelap...
senyap...
terselip doa berharapan

"Semoga keharuman perasaan menjadi keabadian".

Terima kasih #Kebo

CERITAKAN KEMBALI SEBUAH KISAH CINTA

Ceritakan kembali sebuah kisah cinta

Aku seperti musim kemarau yang mengeringkan padang hijau
dibelantara kalbumu

Aku sepucuk belati yang terselip
diantara kedua sayapmu

Aku perempuan tak bersiluet, samar tertutup warna purnama

Aku...
Kini berada pada pangkuan telapak tangan yang terbuka
tapi aku tak ingin mati berahasia

KUBUR DAN TUNAIKAN..

kita terengah
saat malam duduk diruang diam

lihat!, kita telah hilang
tak satupun bayangan kita terbias purnama

sepasang cinta bercumbu
mengungkap segala bentuk kekesalan rindu
tertangkap sejajar lampu kamar

perhatikan mereka, pekik mu riang

tiba-tiba wajah haru
terekam drama indah
ketika mereka berpelukan

"jatuhkan daun-daun sebagai tanda hadirmnya kepiluan
dan letakkan kerinduan pada pembaringanku, kubur...tunaikan"

langit pecah
seperti hujan tangis
tiada bendungan

BERBARINGLAH CINTANYA

 
sebentar lagi kemarau datang
panas, mungkin tak mampu menumbuhkan ilalang
di hadapanku

aku membaca jendelamu yang terbuka lebar
seperti aku melihat wajah bulan berpendar ragu

selembar puisi
kau tanggalkan
disebuah pemakaman bernisan hitam

"menyentuh pipimu, aku yang hadir melambat di alam tidurmu
sebening air mata mengalir hangat, aku telah menugaskan dia (airmata)
untuk menjadi hujan ketika pemakamanmu datang."

Berbaringlah cintanya*

CINTA, benar...

benar, ternyata cinta bisa memanggil tangis dan tawa
mungkin dia telah menjadi ruh yang menyusup
ditiap relung yang bergaung

atau bisa juga menjadi ruh yang setia menjejak gunung
keteguhan

padanya, aku tak bisa mengatakan apa-apa
selain peristiwa cinta akan menjadi kristal kenangan
seperti bait itu,
seperti layaknya sebuah frase
aku alur yang tak punya cerita

Rabu, 01 Januari 2014

AKU INGIN KAMU MASIH DI SITU

Andai langit tak lagi memilih ornamen apa yang pantas untuk birunya,
Mungkin ia akan menjadikan hitam pekat untuk membalut tubuhnya,
Agar luka sunyi berwarna kelam
Agar malam tak rubuh memurung

Tak akan ada kesepian, 
Tak akan ada jawaban semua runtuh mengikat diam
Tak ada purnama
Tak ada hujan
Tak ada pelangi
Tak ada beku himalaya
Semua rejam menghitam
Mengabur di mataku

Sebab aku langit yang pupus dalam ornamen perih

Aku siap, memuntahkan rentetan butiran air mata ditempat ikrar kita menyerah
Bahwa kenangan kemarin adalah semarak keajaiban warna langit yang
tertanam abadi di dinding hati

Aku siap memberi nuansa ornamen yang kau pinta
Meski kelok persimpangan kita serupa abu-abu
Menceritakan kembali satu jalan cinta yang khatam kita lalui
Bahwa dibalik kabut abu yang menutupi pagi
Pasti ada bias cahaya yang membawa kepingan fajar

Maaf, mungkin karena aku tumbuh dari kuncup masa lalu di musim dingin
Kemudian jatuh berserak di tanah-tanah basah

Maaf, mungkin proses alur yang membawa ku pada satu masa, perih
Seperti musim yang tak pernah datang bersamaan

Maaf, mungkin aku hanya memastikanmu,
Bahwa ada kabut embun yang menutupi pagi
dan aku enggan menjadi kepingan fajar yang tertunda

Aku ingin kamu masih disitu..

*puisi mahadiba feat suma

Berpuisi di Bola Matamu


Dari sesentuh yang mendiami sajak-sajak kau tulis setipis senja
Kemarin, sebelum angin membeku di perapian tatapku
Sebentar padam
Sebentar gemerlap
Lalu percik terakhirnya, tercuri kias-kias perjalanan

Aku tak akan mampu membaca lembar demi lembar buku sunyi yang kau sadur lekat
memaknai huruf-huruf yang meratap dalam bilur merapuh

Aku adalah matamu yang kedua
Dari sepasang lilin kecil yang bertahan dalam gelap untuk menanti kehilangan

Tapi aku abadi dalam kenang mata

Langit selaksa cerah
Mataku risau melucuti tiap lembar warna hangat awan
Kita bagai dua roman yang terbelah lautan
Dan membutuhkan beribu meter jengkal untuk berpelukan

Aku yakin kau adalah mahluk yang begitu peka?
Kau sanggup menyaksikan degup yang belum didenyutkan.
Seperti kau biasa membaca warna rona mataku
Atau kau begitu fasih atas lafal-lafal kalimatku

Kembalilah..
Riuh redamku jatuh
Menyapu tiap kisah yang tak tumbuh musim ini

Kembalilah,
Aku berkarat bersama air mata yang tenggelam
Saat gugurnya sesal langit menjingga

Kesendirian memujiku
Cintalah yang telah menyembunyikan ketakutan
Rintihmu bergolak diam sendirian

*puisi mahadiba feat suma

KAU SEBUAH KARYA

Mungkin buatku kau adalah sebuah karya sederhana
tak banyak cat namun bercorak
tak berparas namun butuh segudang perhatian untuk mengartikannya

Mungkin dunia tak melihatmu
tapi aku selalu membuat cerita unik untukmu.

Kau suka? dan kini kita duduk berdua dibait yang terbiasa

"Aku akan menulis kamu!" rayumu menyenangkanku