Pun aku merasa kau lebih memahami, bagaimana tumpukan kata dari seorang pemuja, tak perlu kuisyaratkan lagi. Bagaimana caramu memaknai. Yakin, kau pasti lebih mengerti. Kulihat kau lebih mengenal malam, kau lebih indah cara menatap hitam. Mengenalmu aku seperti melihat kupu-kupu yang hinggap di ranting kokoh. Kau pintal do’a untukku pada bahagiaku. Mungkin juga kau tasbihkan butiran rasa. Demikianlah aku menerima. Hanya setitik warna hitam pada pendar cahaya bulan. Tanpa terang meskipun kilau bintang berhamburan menjadi hiasannya.
Layak kau burung murai hinggap di jendela. Renggang genggam tangan melepaskan. Kurelakan kau terbang hingga separuh perjalanan, bahkan seluruhnya pun ku ihklaskan. Menatap hanya memandang nyanyiannya, bahkan siulan riang meski t terhembuskan senandung suka cita, tanpa nestapa. Ukuran kau bahagia.
Ada yang tak mampu kuartikan, ketika kau berkata tentang, bersuara pada perwakilan perasaan. Akan tetap beranjak, meski pelan. Biarlah diterbangkan angin malam, biarlah kabut mengentaskan syair kepiluan, dan biarlah dingin menyekat bilur-bilur kehangatan. Akan tetap kulakukan, meski tiada tempat bersanadar selain pada naungan malammu. Sebab, aku tak mampu terlelap tanpamu bintang, mimpiku berpendar.
Abaikan gelombang pasang yang meluluhkan perasaan, kuabaikan genangan airmata yang menyumpat netra, meski hujan telah mengeringkan badai. Tak kubiarkan do’a mu tak berbalas. Suaramu telah banyak membuatku tertawa, suaramu telah banyak membuat cerita tentang embun, tentang makna-makna. Aku hanya ingin merasa, kau pernah ada. Pernah menjadi rahasia dari setitik jiwa.
Kuhanya ingin merasa, bahwa ia pernah tumbh menjadi kisah, bahkan sampai detik ini. Hingga tak kujumpai kembali halaman yang akan mengilang pada putaran detakknya, pada setiap kata yang mampu kuwarnai dengan desah dan resahnya air mata.
Izinkan atasNYA aku mampu menatapnya sejenak, dan ENGKAU boleh membawanya serta memberikan indah yang sebenarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar