Aku mencintaimu, seperti aliran air sungai bening
yang mengalir di sela bebatuan cadas.
Aku mencintaimu seperti hebusan angin, yang disela dedaunan hingga menyejukkan
Entah..
Kenapa perasaan itu muncul seketika aku menatapnya,
Mencintai seseorang adalah halal
Tapi bukan untuk ku dan untuknya
Aku tak halal untuknya, dan begitu juga dia tak halal untukku
Cinta itu tumbuh seperti tumbuhnya bunga kamboja di tebing curam, indah dan harumnya menggelitik perasaan,
Keindahanya hanya mampu dinikmati sebatas mata memandang,
Menikmati warna kuning berkilauan, tanpa mampu menjamah ataupun memetik
Meski hanya diselipkan di helai ikatan.
Dia perempuanku, yang sepadan dengan sekuntum kamboja di tebing curam
Dia perempuanku, dengan seribu diam
Dia perempuanku, yang tak tertembus sinar kehangatan
Dia perempuanku, dalam rebahan yang hilang
Sebegitu aku luruh akan cintaku, ikut merasa ada gurat luka yang parah kala mata kita beradu.
Tak ada dusta meski bibirmu tak berkata, namun dari bilik mata terpancarkan..kau perempuanku terluka.
Siapa yang melukaimu? Siapa yang membuat butir bening itu jatuh pada kelopak matamu? tanyaku waktu itu.
Sekali lagi, kau bisu...hanya senyum
seolah berkata, "Aku baik-baik saja..!"
Tak ubahnya aku dan dia, kau dan dia.
Mencari satu sisi keindahan yang tak didapatkan.
Mencari dimana letak penghargaan dibalik kisi-kisi hati.
Bergelimang nalar jiwa dan dosa...
Tuhan...
Aku berkata padaMu setelah ini,
Kau telah menuliskan azimat takdir sebegitu dasyatnya.
Engkau Maha di atas segalanya, penentu segala penentu
yang terbaik untuk hambanya.
Tuhan...
Sebegitu aku mencintainya, perempuanku, kambojaku yang tumbuh di antara tebing curam.
Menahan sakit dan penderitaan dengan sumbar senyum yang dihadiahkan untukku kala bertemu.
Saat terbujur...
Lelah menyelimuti sakit yang menggerogoti
Aku telah berikrar pada hatiku,
Rasa cinta yang kupersembahkan selayaknya hati sendiri di ujung kematian...
Kupersembahkan segumpal ginjal tak bernama
untuk menemaninya di separuh hidupnya yang tersisa
Meski ragaku tak menemani setelah ini
Namun satu nyawa telah kusunting untuk menemaninya.
Tuhan...
Kini aku mampu menatapnya kembali,
Bermain dengan pena, ribuan kata-kata,
Tumpukan aksara yang bermakna...
Dan mampu menikmatinya, menemani dengan sisa nyawa yang sama....
Tuhan...
Itulah penghargaan atas Rahasia Cinta sesungguhnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar